Right click disabled

29 Okt 2012

Babad Cirebon - oleh PS Sulendraningrat (bagian 8)




29.      RAJA GALUH DAN SAYEMBARA PANGURAGAN

Di kraton Rajagaluh, sang Prabu Cakraningrat sedang mengadakan pertemuan dengan sejumlah pejabat kraton dan wadyabala. Berkata sang Prabu, “Wahai Dipati Palimanan, mana keterangannya Sunan Cirebon, sebab itu adalah orang ngumandi/ menjadi benalu. Sudah lama belum ada ijinnya.” Dipati Palimanan menjawab, “Duhai Gusti mohon ampunan Dalem karena tidak berhasil, betapa seringnya hamba mengurus para gegedeng dan bertindak pribadi, akan tetapi negara Cirebon tidak terlihat, sementara apabila para gegedeng dapat melihat Sunan Jati atau bisa memasuki negara Cirebon dan bertemu dengan Sunan Jati, mereka tidak pulang kembali, para gegedeng sudah banyak yang pada anut/ ikut.”
Berkata sang Prabu, “Demang Rajagaluh sekarang supaya bertolak ke Cirebon sampai bertemu sendiri dengan Sunan Jati, harap diberitahu supaya mau menghadap ke Rajagaluh, dan harus mengirim upeti tiap tahun. Kalau tidak anut kepadaku, niscaya Sunan Cirebon akan dirampas kekayaannya dan akan kupotong lehernya, kalau menghendaki perang tentu aku serbu lalu akan aku bikin Cirebon menjadi tanah hitam (dibumihanguskan).”
Ki Demang mengucap sandika lalu memohon pamit menuju Cirebon dengan membawa empat puluh orang prajurit. Dalam perjalanan menuju Cirebon, Ki Demang dan para prajurit sering berputar-putar kembali lagi ke tempat semula, kalau ke utara terus tersesat ke utara, kalau ke selatan terus tersesat ke selatan, senantiasa tersesat tak tentu arah.
Diceritakan, Ki Gedeng Selapan sedang bertapa di gunung Mendang ingin sekali mempunyai anak yang sakti. Permulaan bertapa, bunga pundak baru kuncup, sekarang berjatuhan di hadapan Ki Gedeng Selapan seolah-olah permohonannya dikabulkan oleh Sang Pencipta, di antara bunga pundak yang jatuh di tanah itu ternyata menjadi bayi perempuan. Bayi perempuan itu lalu dibawanya pulang.
Kemudian bayi perempuan itu diberi nama Panguragan. (Menurut versi lain, Panguragan adalah putra angkat dari Sultan Aceh dan seorang adik kandung perempuan dari Fadilah Khan/Faletehan.  Pangeran Cakrabuana lalu membangun dukuh/pemukiman dengan menanami tanaman serba jadi, yang selanjutnya dukuh itu disebut dukuh Panguragan).
Sekian tahun lamanya, kini Nyi Mas Panguragan sudah berumur lima belas tahun, dan ia sudah berguru kepada Jeng Sunan Gunung Jati. Dikatakan oleh Jeng Sunan Jati, bahwa walaupun Nyi Mas Panguragan adalah prempuan tetapi ia adalah prajurit Awliya.
Nyi Mas Panguragan sudah termasyhur ke lain-lain desa akan kesaktian dan keelokan paras rupanya, bahkan sudah banyak para gegedeng, dipati, para satria, bahkan juragan yang sudah melamarnya.
Ki Gedeng Selapan memanggil putrinya yang dikenal juga dengan nama Gandasari. Berkata Ki Selapan, “Putriku Panguragan, aku minta engkau supaya mau bersuami, sudah cukup waktunya engkau mempunyai suami, mana yang engkau pilih dari salah seorang mereka semua. Para Demang, satria, dipati, gegedeng, dan para juragan yang sedang menunggu di pondokannya masing-masing, beritahulah kepada Bapak.”
Nyi Mas Panguragan/ Gandasari menjawab, “Rama, hamba mau bersuami akan tetapi kalau hamba sudah terkalahkan oleh siapa saja yang bisa menangkap hamba, yang melebihi kesaktian hamba, itulah orang yang hamba akan mengabdi kepadanya, jangan lagi para pembesar, walaupun orang melarat kalau bisa menagkap hamba itu tandanya jodoh hamba.
Ki Gedeng Selapan lalu memerintahkan pembantunya untuk menyampaikan sayembara tersebut pada seluruh laki-laki yang hendak melamar Nyi Mas Gandasari/ Panguragan. Mendengar pengumuman itu, para pelamar berebut saling mendahului.
Nyi Mas Gandasari sudah memasuki arena sayembara di tengah-tengah balabar/ batas medan sayembara dengan berbusana putri raja yang indah. Sang Putri berkata, “Wahai para pria yang hendak melamarku, barangsiapa yang dapat menangkapku, niscaya aku akan mengabdi kepadanya.” Segera para pelamar maju serentak saling berebut menangkap sang putri, sang putri pun siap siaga. Dengan gugup, Ki Gedeng Plered berusaha menangkapnya, tapi sang putri segera melesat ke atas. Ki Gedeng pun jatuh terjengkang. Ki Gedeng Plumbon berusaha menangkap Nyi Mas Gandasari, akan tetapi ia pun jatuh terjerembab. Ki Ujung Gebang pun berusaha menangkap sang putri, namun juga terjatuh. Giliran Ki Gedeng Kandanggaru hendak menangkap sang putri yang berlari cepat, sang putri dikejar hingga sampai di pedesaan, masuk ke dalam hutan, seluruh daun dan pepohonan yang tersentuh tubuh Nyi Mas Gandasari menjadi ikut berbau harum. Adapun wilayah hutan yang menjadi tempat berjatuhannya bunga dan daun di hutan itu kelak dikenal dengan nama dukuh Wanasari.
Sang Putri terus berlari hingga sampai di ladang persawahan. Ki Gedeng Kandanggaru berusaha menangkapnya namun tak kunjung berhasil, hingga Nyi Mas Gandasari kembali ke tempat sayembara dan disambut oleh orang-orang dengan gegap gempita.
Diceritakan, dua orang putra seberang yang bernama Jaka Supetak dan Jaka Pekik dengan mengepalai wadyabala seratus siluman yang berwujud manusia, baru mendarat di pantai Cirebon. Mereka hendak menerobos negara dan menguasai tanah Jawa, namun datangnya tersesat di Cirebon. Kedua putra ini kebingungan lalu berjalan ke arah masing-masing untuk menyelidiki daerah baru itu. Jaka Pekik berjalan ke arah selatan, dan Jaka Supetak berjalan ke arah barat hingga sampai di daerah Panguragan, yang bersamaan dengan terdengarnya suara gegap gempita. Ia melihat sedang ada sayembara, kemudian segera ia menuju tempat sayembara tersebut.
Nyi Mas Gandasari melihat kedatangan Jaka Supetak, kemudian Jaka Supetak memperkenalkan diri. Berkata Jaka Supetak, “Namaku Jaka Supetak, putra dari seberang, hendak mengikuti ke arah Jaka Supetak, namun datangnya panah ke tubuh Jaka Supetak hanya seperti batu yang dilemparkan. Melihat hal itu, sang putri lalu memegang senjata andalannya dan segera diarahkan ke tubuh Jaka Supetak. Jaka Supetak menangkis serangan tersebut dengan sebuah keris, hingga terpercik api bersemburan. Sang putri merasa tidak kuat kemudian lari, Jaka Supetak mengejarnya.
Pada saat itu, Kanjeng Sinuhun Jati Purba yang sedang berdiri di tepi sebuah sungai, tidak berapa lama datanglah Nyi Mas Gandasari meminta bantuan. Jaka Supetak pun sampai di hadapan mereka, lalu berkata, “Wahai Paman, engkau janganlah menghalangi buruanku. Nyi Mas Panguragan telah kalah dalam pertandingan, karenanya ia sudah dipastikan menjadi istriku.” Berkata Jeng Sunan Jati, “Aku belum melihat Nyi Mas Panguragan kalah dalam pertandingan. Kalau sang putri dapat terangkat olehmu, nyatalah ia jodoh engkau.” Jaka Supetak segera mengangkat sang putri, namun sang putri ternyata tidak bisa terangkat, bahkan tidak dapat bergerak sedikitpun. Berulang kali dicobanya, namun tak membuahkan hasil. Akhirnya Jaka Supetak menyerah sambil terdiam.
Jeng Sunan Jati berkata, “Itulah buahnya orang-orang yang mendahului kersa Illahi, jadi engkau mengunggul-ungguli, menghebat-hebati, wadyabala engkau adalah siluman berwujud manusia, engkau menyangka lebih sakti mau merebut negara dan menguasai tanah Jawa akan tetapi kenyataannya oleh perempuan saja engkau tidak bisa mengalahkannya.”
Jaka Supetak kemudian bersimpuh sambil bertanya. “Siapakah Tuan ini namanya, hamba merasa Tuan beribu sakti perwira, terimalah keris ini, baiknya Tuan bunuh hamba, hamba merasa malu sekali.” Keris lalu diterima, Jeng Sunan Jati berkata, “Aku adalah Susuhunan Cirebon, Jati Purba namaku. Jaka Supetak, engkau belum waktunya mati, baiknya turut ke Cirebon, bangunlah sebuah dukuh di sana.” Jaka Supetak bersikukuh pada pendiriannya, ia berkata, “Hamba merasa malu sekali, hamba seterusnya tidak bisa bercampur lagi dengan manusia, namun hamba mohon ijin untuk bermukim di dalam sungai ini.” Segera Jaka Supetak dan wadyabalanya terjun ke dalam sungai. Lalu mereka bersalin rupa menjadi buaya. Selanjutnya sungai tersebut dikenal dengan Sungai/ Kali Kapetakan. Jeng Sunan Jati menyuruh Nyi Mas Gandasari pulang kembali ke Panguragan, dan Jeng Sunan Jati kembali ke Cirebon.
Diceritakan, ada seorang satria yang baru datang di pantai Cirebon. Satria ini bernama Syarif Syam. Ia mendapat petunjuk untuk mencari guru yang mursyid/ guru penunjuk Awliya Kutub di Cirebon, dan guru inilah yang dapat memotong rambutnya yang panjang dan keras seperti kawat.
Syarif Syam yang telah sampai di pantai Cirebon hendak mencari guru Awliya Kutub kemudian meneruskan perjalanan hingga sampai di sebuah kebun bayam. Ia melihat ada seorang lelaki yang sedang membentongi/ memukul buah gayam untuk diambil isinya. Ia menghampiri lelaki tua itu dan bertanya, “Wahai Aki, di mana tempatnya Awliya Cirebon dan ke mana arahnya kota?” Berkata Syekh Bentong, “Ke arah Selatan arahnya negara Cirebon, mungkin pula Waliyullah juga di situ kediamannya dan anda dari mana, siapa namanya, dan apa keperluannya?”
Syarif Syam menjawab, “Saya berasal dari negara Syam, Syarif Syam namaku hendak berguru kepada Awliya Cirebon dan yang bisa memotong rambutku. Sungguh aku akan mengabdi padanya. Juga aku membawa kitab dan perahu untuk mufakatan perihal ilmu.” Berkata Ki Bentong, “Itu kitab dua perahu bagaimana membacanya, bagi orang Jawa untuk mengerti Syahadat saja itu sudah terhitung dhoif (lemah).”
Berkata Syarif Syam, “Ini sudah waktu Dhuhur, jangan berbincang saja. Marilah kita sholat, Ki. Di mana tempatnya sholat?” Berkata Ki Bentong, “Di bungbung/ bambu ini yang terkait pagar, di situlah tempatnya aku menjalankan sholat, silahkan anda masuk ke dalam bungbung ini.” Syarif Syam terheran-heran dan berkata, “Wahai Aki, masuklah anda terlebih dahulu nanti aku mengikuti.” Segera Ki Bentong masuk ke dalam bungbung sambil memanggil-manggil Syarif Syam. Syarif Syam melihat bahwa bungbung itu ternyata adalah sebuah pintu besar, lalu ia masuk, dan di dalamnya terlihatlah masjid yang lebih besar dan banyak orang yang turut makmum. Syarif Syam lalu turut makmum, yang menjadi Imam ternyata adalah Ki Bentong.
Sesudahnya sholat Dhuhur, Syarif Syam lalu bersimpuh sambil berkata, “Duhai Kyai, mohon ampunan Dalem, sungguh Paduka itu adalah Awliya Allah, hamba mohon berguru, dan semoga Paduka mau memotong rambut hamba.” Ki Bentong lalu menerimanya sebagai murid dan memberi wejangan ilmu kedhohiran dan kegunaan perwira sakti. Setelah selesai, Ki Bentong lalu berkata, “Adapun ilmu kebathinan ketauhidan, Sunan Cirebon nanti yang memberi wejangan dan yang akan memotong rambut anda dan anda diberi nama Pangeran Remagelung. Sebaiknya ananda segera datang ke Cirebon.” Remagelung mengucap sandika, lalu mohon pamit meneruskan perjalanannya.
Antara lama kemudian Remagelung berjumpa dengan seorang kakek tua. Berkata Remagelung, “Wahai Kakek tua di mana tempatnya Sunan Cirebon.” Berkata Kakek tua, “Wallahu a’lam tempatnya Sunan Cirebon dan anda dari mana, siapa namanya, dan apa kemauannya?” Remagelung menjawab, “Aku putra dari Syam hendak berguru kepada Sunan Cirebon yang bisa memotong rambutku, sungguh aku akan mengabdi kepadanya.” Kakek tua berkata lagi, “Kasihan sekali orang Syam ini, rambutnya bergelantungan tidak dapat digelung karena kerasnya seprti kawat, kalau menjadikan sukalilanya saya akan memotongnya, namun saya minta melihatnya dari belakang.”
Remagelung berkata, “Sukalila/ suka ridho kalau Kakek Tua mau memotongnya.” Segera Remagelung membelakanginya. Kakek Tua lalu memegang rambutnya, segera rambut itu getas/ rapuh putus berjatuhan di tanah. Kakek Tua lalu lenyap. Remagelung kehilangan Kakek Tua, ternyata sudah gundul kepalanya. Remagelung seterusnya dikenal dengan nama Pangeran Sukalila, karena suka/ ridho dipotong rambutnya dan jadi masyhur tempat itu disebut Karanggetas, sebab mengingat tatkala getas/ rapuhnya rambut Remagelung. Lalu rambut itu ditanamnya di bawah pohon asem di tempat itu pula.
Segera Pangeran Sukalila meneruskan perjalanannya mencari Kakek Tua siang malam tidak ditemukan. Lalu ia menuju ke arah utara barat, kemudian sampai di daerah Panguragan, melihat keramaian orang-orang yang mengikuti sayembara sambil bersorak gegap gempita.
Diceritakan, pada waktu itu Sang Ratna Panguragan sudah keluar berada di tengah-tengah medan laga di dalam balabar arena sayembara sambil sesekali bertarung dengan para satria dan pejabat yang hendak melamarnya.
Pada suatu kesempatan, Pangeran Sukalila datang sudah di hadapan Ratna Panguragan/ Nyi Mas Gandasari. Berkata Sang Putri, “Hai satria, siapa anda yang turut masuk sayembara?” Pangeran Sukalila berkata, “Namaku Syarif atau dikenal juga sebagai Remagelung, putra negara Syam. Anda siapa, seorang perempuan dikeroyok oleh orang-orang dua puluh lima negara, rupanya anda prajurit perwira sakti, ulahnya cekatan, lebih pantasnya kalau diperistri olehku. Anda jangan berperang sendirian, apa karenanya anda dikeroyok, aku hendak membantu.”
Nyi Mas Gandasari berkata, “Aku mengadakan sayembara, siapa saja yang bisa menagkap mengungguli saya, niscaya saya akan mengabdi kepadanya sebagai seorang istri, walaupun dia orang melarat kalau bisa menangkap saya, itu tandanya jodoh saya.”
Berkata Syarif Syam (Remagelung/Pangeran Sukalila), “Sebaiknya anda menurut kepadaku untuk menghindari kemungkinan tewas, sayang sekali oleh kecantikan anda yang punjul.” Berkata Sang putri, “Hai satria, sombong sekali perkataan anda, kalau anda sungguh perwira sakti, siapkanlah dada anda ditimpa sarotama/ tombak-ku.” Segera sang putri melepas sarotama dan melepas senjata-senjata laksana hujan. Pangeran Remagelung/ Sukalila memadahi senjata panah tak ada satupun yang mempan. Segera Sang Putri mencabut patrem dan ditusukkannya ke arah Pangeran Remagelung, tapi sang pangeran hanya berdiri saja sambil tersenyum. Sang putri segera ditangkapnya, tapi tidak dapat tertangkap, seperti menangkap bayangan. Akhirnya terjadilah kejar-kejaran antara mereka berdua.
Diceritakan, Kanjeng Sunan Jati sedang membangun ketemanggungan dan masjid Jagabayan dan tempat penjagaan untuk orang-orang jaga di pintu kota pada tahun 1500 M, sedang berdiri di pintu di pintu gerbang bersama Ki Kuwu Cakrabuana. Tidak lama kemudian ada datangnya Nyi Mas Gandasari bersembunyi di belakang Sunan Jati. Kemudian datang juga Pangeran Remagelung/ Sukalila di hadapan Jeng Sunan Jati. Berkata Pangeran Sukalila, “Wahai Paman, mohon jangan berdiri di situ, minggirlah dahulu.” Jeng Sunan Jati tidak beranjak sedikitpun. Pangeran Sukalila habis kesabarannya, Jeng Sunan Jati pun diterjangnya sambil berusaha menangkap Nyi Mas Gandasari. Tiba-tiba Pangeran Sukalila seolah lumpuh jatuh tak bergerak di hadapan Jeng Sunan Jati. Pangeran Sukalila meminta maaf dan berkata, “Duhai Gusti, mohon perampunan. Siapakah Paduka, hamba tidak mengetahui.” Sunan Jati berkata, “Aku adalah Sunan Cirebon, Jati Purba namaku. Siapakah anda dan berasal dari mana?” Pangeran Sukalila menjawab, “Hamba adalah putra Syam, Syarif nama hamba, dikenal juga sebagai Sukalila. Memang Padukalah yang hamba cari selama ini. Hamba bermaksud berguru kepada Paduka semoga Paduka mau mengangkat hamba sebagai murid, dan hamba mohon agar dapat dijodohkan dengan wanita yang bernama Gandasari.”
Jeng Sunan Jati menerima yang dikatakan oleh Pangeran Sukalila, lalu berkata, “Gandasari, engkau aku tari/damai kalau bersuami dengan Pangeran Sukalila.” Nyi Mas Gandasari menjawab, “Hamba menurut kehendak Paman, akan tetapi hamba mohon bathin.” Berkata Sunan Jati, “Pangeran Sukalila dari kesediaannya Gandasari supaya minta bersuami nanti saja di bathin, oleh karena itulah anda supaya menerimanya.” Berkata Pangeran Sukalila, “Mematuhi kehendak Dalem Gandasari di bathin adalah istri hamba, di lahir hamba bersaudara dengan Gandasari.” Perjanjian Nyi Mas Gandasari dengan Pangeran Sukalila disaksikan oleh Ki Kuwu Cirebon dan Sunan Jati Cirebon. Selanjutnya Pangeran Sukalila disuruh membangun sebuah dukuh. Pangeran Sukalila yag telah mendapat ijin kemudian meneruskan perjalanan ke arah utara, dan tibalah ia di sebuah pohon kendal yang besar. Di dekat pohon kendal itulah ia membangun sebuah dukuh, yang selanjutnya termasyhur dengan sebutan dukuh Karangkendal. Pangeran Sukalila juga dikenal dengan nama Pangeran Karangkendal.

(bersambung)

Babad Cirebon - oleh PS Sulendraningrat (bagian 7)




25.      PERANG DEMAK – MAJAPAHIT

Suatu waktu diberitakan di Ampelgading, Jeng Sunan Ampel wafat. Seluruh Wali dan para murid berkumpul dan memakamkan Jeng Sunan Ampel. Beberapa hari setelah pemakaman, Sultan Palembang dan Pangeran Patah minta sangat seluruh para Wali dimohon datang ke pedukuhan Demak. Kemudian para Wali membangun masjid Demak dimulai ba’da Isya dan pada waktu Subuh selesai, akan tetapi setelah mau diadakan shalat Subuh para Wali merasa ragu perihal kiblatnya. Para Wali masih belum mufakat arahnya kiblat. Segera Sunan Kalijaga bertindak, tangan kanan memegang Baitullah, tangan kiri memegang masjid, lalu disentuhkan sampai rapat. Barulah para Wali mufakat arahnya kiblat. Kemudian para Wali mulai shalat Subuh, peristiwa ini terjadi pada tahun 1411 Sakakala atau 1489 M. Selesainya shalat Subuh, para Wali melihat ada sebuah bungkusan yang menggantung berupa baju jubah yang dibungkus dengan kulit dan ada tulisan yang ditujukan kepada Sunan Bonang. Baju jubah dari sih pemberian Jeng Nabi Muhammad SAW semoga diberikan kepada Jeng Sunan Kalijaga karena yang mengesahkan kiblatnya masjid. Para Wali memuji syukur kepada Allah SWT. Baju jubah lalu diterima oleh Jeng Sunan Kalijaga, segera dipakainya dan jubah tersebut diberi nama Jubah Antakusuma. Adapun bungkusnya yang berupa kulit itu diberikan pada Sunan Bonang, kemudian dibuat menjadi sebuah baju kecil yang disebut Baju Ki Kundil. Kemudian para Wali berembug/mengadakan rapat di masjid Demak, membahas perihal Raja Majapahit yang belum memeluk Islam.
Berkata Sunan Bonang, “Oleh karena Rama di Ampel sudah wafat sirna sempurna, maka sekarang Raja di Majapahit dapat kita bujuk untuk memeluk Islam, bagaimana mufakatnya para saudara”.
Berkata Sunan Jati Cirebon, “Raka Aryadila dan Pangeran Patah sebaiknya mengirim surat terlebih dahulu kapada Prabu Majapahit dimohon memeluk Islam, kalau nanti sang Prabu menolak dan murka karenanya, barulah kita hadapi”. Sunan Undung berkata, “Seumpama sang Prabu menolak dan karenanya kita terpaksa mengadakan peperangan, bolehlah orang Undung yang jadi Senopati ing ngalaga”.
Raja Aryadila dan Pangeran Patah mematuhi nasehat Sunan Gunung Jati, lalu menulis sebuah surat, punggawa tujuh yang diutus membawa surat itu datang sudah di Majapahit, surat pun diterima oleh Prabu Brawijaya. Sang Prabu membaca seluruh isi surat, segera punggawa tujuh diusirnya. Sang Prabu begitu murka, ia lalu memanggil Dipati Teterung,  diperintah mengumumkan kepada seluruh wadyabala, bupati, sentana mantri dan tamtama diharuskan siap siaga seluruh alat perang, siaga penuh untuk berperang.
Tujuh utusan yang diusir pulang ke Demak dan menghadap para Wali. Kemudian diputuskan oleh para Wali, yang menjadi senopati perang adalah Sunan Undung. Segera Sunan Undung mengenakan baju Ki Kundil dan Jubah Antakusuma. Telah dicapai mufakat dan penuh siap siaga untuk berperang. Barisan Demak, Palembang, Cirebon, Undung, Kudus, Bonang dan seluruh wadyabala Islam sudah disiapkan menuju Majapahit. Sampailah pasukan tersebut di wilayah Majapahit, bala tentara Majapahit pun sudah siap siaga menghadang. Lalu Pangeran Kudus memukul tanda bende/gong si Macan.
Pecahlah perang besar antara bala tentara Islam di bawah pimpinan Demak melawan bala tentara Majapahit. Sorak sorai pasukan dan suara senjata beradu begitu dahsyat bergemuruh dalam perang tersebut.
Diceritakan, Senopati ngalaga Kanjeng Sunan Undung maju di medan laga, menantang gembar-gembor, “Hai orang Majapahit, di manakah Raja kalian Brawijaya, kalau mau aku Islamkan kalau tidak, akan kami hukum”. Dipati Teterung mendengar ucapan tersbut lalu menjawab, “Siapa yang gembar gembor menantang tapi seperti setan tidak terlihat, kalau engkau sesungguhnya Wali perlihatkanlah diri engkau, hadapilah Senopati Majapahit, Dipati Teterung namanya”.
Kanjeng Sunan Undung mengetahui pastinya memperoleh derajat Awliya Sabilullah, lalu Sunan Undung melepaskan baju dan jubah, memperlihatkan dirinya. Baju Ki Kundil dan Jubah Antakusuma melesat pulang dengan sendirinya kembali ke empunya. Segera dengan cepat Dipati Teterung menombak tubuh Sunan Undung dan jatuhlah ia di tanah, gugur berbarengan dengan terdesaknya pasukan Islam. Sunan Kalijaga mengetahui bahwa Sunan Undung gugur lalu jenazahnya diambil dibawa pulang. Sunan Kudus yang menggantikan jadi Senopati. Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati segera maju ke medan laga, diiringi oleh Ki Kuwu Cirebon. Aryadila sudah di tengah-tengah medan perang membawa peti jimat lalu peti dibuka mengeluarkan gelap gulita menyerang menyelimuti musuh. Sunan Bonang menghunus keris yang mengeluarkan ribuan lebah menyengat musuh. Ki Kuwu Cirebon mengusap badon batok yang mengeluarkan banyak tikus, mengamuk dan menyerang paukan Majapahit. Seluruh pasukan Majapahit geger panik, diliputi gelap gulita, disengat ribuan lebah, diserang ratusan tikus. Akhirnya pasukan Majapahit tercerai berai dan dapat dipukul mundur, sebagian menyerah dan sebagian lagi berlari ke gunung. Sedangkan Dipati Teterung sudah dibelenggu oleh Pangeran Kudus.
Mengetahui pasukannya kalah, Prabu Brawijaya lalu ngahyang/keluar dari kraton bersama istri dan para putri dari Cempa, mereka lenyap dari pemandangan. Seluruh Bupati sentara mantri dan kraton sekekayaannya telah diambil alih oleh pasukan para Wali. Rakyat Majapahit pun akhirnya memeluk agama Islam.
Tidak lama kemudian Prabu Kediri, sebuah negara bagian Majapahit yang bernama Grindha Wardhana mengumumkan Majapahit merdeka tidak takluk kepada Demak beribukota di Kediri.
Kemudian para Wali mengadakan riungan di pesanggrahan Demak. Pangeran Kudus sudah datang mengiringkan tawanannya, yaitu Dipati Teterung dan para Bupati sentana mantri dan rampasan perang berupa dunyabrana/emas picis dan lain-lain. Berkata Pangeran Kudus, “Semoga diterima dengan hormat menyerahkan tawanan dan rampasan perang, namun Dipati Teterung dimohon hukum mati karena telah membunuh Ramanda Sunan Undung”. Berkata Sunan Gunung Jati, “Dipati Teterung diminta supaya memeluk agama Islam. Adapun gugurnya Sunan Undung itu lebih sempurna derajatnya Awliya Sabilullah lantaran dari Dipati Teterung dan sebanyak dunyabrana itu agar dibagikan sebagai ganjaran pada prajurit-prajurit yang turut berperang. Adapun para Bupati, sentara, mantri, seluruh wadyabala Majapahit supaya diserahkan kepada rayi Pangeran Patah, sebab yang empunya waris yang akan menjadi  Raja meneruskan kedudukannya Sang Prabu Brawijaya, akan tetapi raka Sultan Palembang hendaknya mau menyetujuinya, oleh karena raka sudah menjadi Sultan di Palembang”. Jeng Sultan Palembang pun menyetujui di tanah Jawa sang rayi Pangeran Patah yang menjadi raja. Para Wali sudah mufakat. Aryadilla berkata, ”Rayi Patah menjadi raja di tanah Jawa akan tetapi para akrab yang sudah memeluk agama Islam seyogyanya diberi tanah atau lainnya sebagai warisnya dari sih kemurahannya saudara dan yang adil olehnya menjadi raja, berpeganglah kepada hukum Rasulullah apa yang disebut dalam Al Qur’an”.
Berkata Sunan Jati, “Sudah waktunya Rayi Patah dinobatkan menjadi raja di kraton Demak”. Segera Sunan Kalijaga mengumumkan kepada khalayak rakyat Demak bahwa Sunan Jati Purba dan para Wali menetapkan Pangeran Patah dinobatkan menjadi Raja/Sultan/Susuhunan di kraton Demak yang mangkurat/memangku se-nusa Jawa sebelah Timur mengganti Raja Majapahit. Seluruh rakyat Jawa Tengah dan Jawa Timur sudah mengakui Raden Patah sebagai raja Tanah Jawa yang berkedudukan di Kraton Demak. Raden Patah termashur dengan sebutan Sunan Bentara dan Kanjeng Sultan Abdul Patah pada akhir tahun 1489 M (bersamaan dengan tahun didirikannya Masjid Demak yaitu pada tahun 1411 Sakakala/1489 M).
Majapahit Grindhra Wardhana Kediri dapat direbut oleh Demak pada tahun 1517 M. Juga Prabu Udara Singosari (sesudah ibukota Majapahit Trowulan ambruk, Gridhra Wardhana raja negara Majapahit mengumumkan Majapahit merdeka, ibukotanya Kediri, dengan gelar Prabu Brawijaya VI dan Prabu Udara dengan gelar Prabu Brawijaya VII).
Oleh karena Sunan Bentara sudah jadi raja tanah Jawa yang berkedudukan di kraton Demak, segera memberi ganjaran seluruh para Wali dan para pinangeran pula seluruh akrab dan para wadya sudah menerima ganjaran. Semua Crebon diberikan pengakuan menjadi Sunan mangkurat/memangku di Jawa Barat bersemayam di kraton Pakungwati Cirebon dan diberi keris tombak baris upacara pula Raden Sepat, Gedeng Trepas sebawahannya seratus orang, sebaliknya Cirebon memberikan pengakuan kepada kesultanan Demak. Sunan Giri sudah menerima ganjaran tetap senegara dan Sunan Bonang diberi ganjaran tanah senegara dan diangkat menjadi Susuhunan. Adapun Pangeran Kudus diganjar tanah senegara pula dari Undung serakyatnya tetap diwaris oleh Pangeran Kudus sebagai putranya dan diangkat menjadi Susuhunan dan ditetapkan sebagai Senapati ngalaga Demak.
Adapun Sunan Kalijaga diberi tanah senegara, akan tetapi yang dipilih tanah yang berawa dibangun kraton menjadi Susuhunan Kadilangu. Ada para Wali dari daerah Barat empat orang yang menolak ganjaran yaitu Syekh Bentong, Syekh Lemahabang, Syekh Maghribi, dan Syekh Majagung.
Ada tembang/nyanyian Jawa yang berbunyi: “Ana bonteng ginotong wong wolu” (artinya, “Ada timun yang diangkat orang delapan”). Makna yang tersirat adalah, seumpama Demak tidak dibantu oleh para Wali yang delapan orang (Sunan Ampel sudah wafat), terutama oleh Cirebon yang sudah lama jadi negara beragama Islam, pasti kesultanan Demak tidak akan ada di dunia, karena melawan Majapahit itu laksana “timun melawan durian” dan kesultanan Demak baru penuh jadi negara merdeka dan berdaulat di seluruh bekas kawasan Majapahit setelah direbutnya Kediri dan Singosari pada tahun 1517 M. Sangkalan tahun didirikannya Masjid Agung Demak ialah dengan gambar bulus/penyu/kura-kura yang bermakna: kepalanya = 1, tubuhnya = 1, kakinya = 4, ekornya = 1, jadi 1141 dibalik menjadi 1411 Sakakala atau 1489 M.



26.      KRATON PAKUNGWATI DIPUGAR
DAN DIBANGUNNYA MASJID AGUNG CIREBON

Diceritakan Sunan Cirebon dan Ki Kuwu Cirebon sudah pulang ke negaranya bersama dengan Aryadila Sultan Palembang, Pangeran Makdum, Pangeran Drajat, Pangeran Welang, Raden Sepat, Gedeng Trepas, dan para tawanan dari Majapahit. Sunan Jati beberapa hari kemudian menghendaki agar kraton Pakungwati diperlebar seperti kraton Majapahit hanya agak kecil. Orang-orang Majapahit sudah bertindak, Raden Sepat dan Gedeng Trepas yang mengurus, Sunan Kalijaga yang menjadi kepala, kemudian kraton selesai dipugar pada tahun 1489 M. Pada tahun itu juga tidak antara lama para Wali pada berkumpul hendak meneruskan membangun masjid Agung karena tadinya pondasinya sudah dibuat, sekarang hendak diteruskan. Mulai dibangun ba’da Isya dan pada waktu Subuh sudah selesai, hanya kurang satu tiang. Lalu Sunan Kalijaga bertindak mengumpulkan tatal/serpihan kayu jati yang dibuat sedemikian rupa hingga menjadi tiang, untuk melengkapi tiang yang kurang. Oleh karena itu, tiang ini disebut Saka Tatal. Sangkalan dibangunnya Masjid Agung Cirebon ialah: munggal = 1, mangil = 1, mungup = 1, jemblung = 2, gateling = 1, asu = 1, jadi 11 121 = 41 dibalik jadi 1411 Sakakala (1489 M).



27.      PANGERAN KUNINGAN

Diceritakan, di Kuningan setelah wafatnya Dipati Awangga asal Cianjur sebagai pejabat daerah, Pangeran Kuningan, Ki Gedeng Kemuning dan empat putra lelaki Dipati Awangga hendak memberitahu Cirebon perihal ini. Kemudian mereka menghadap Jeng Sunan Jati. Jeng Sunan Jati berkata, “Sekarang putraku Pangeran Kuningan aku angkat dengan diberi gelar Pangeran Dipati Awangga yang memangku negara Kuningan anak anda yang jadi saudara tunggal sepersusuan dengan Pangeran Kuningan. Adapun anak rayi Dipati Awangga almarhum yang pertama diberi gelar Dipati Anom, yang kedua Dipati Cangkwang, yang ketiga Dipati Sukawayana, dan yang keempat Dipati Selanunggal menjabat sebagai pembantu Pangeran Dipati Kuningan. Adapun anak anda Arya Kemuning menjabat sebagai pelaksananya.”
Setelah selesai keputusan Jeng Sunan Jati, Ki Gedeng Kemuning lalu mohon pamit bersama Pangeran Dipati Awangga pulang kembali menuju Kuningan. Peristiwa in terjadi pada tahun 1499 M.




28.      BANTEN

Diceritakan, Kanjeng Sunan Gunung Jati sedang berembug dengan sang istri yaitu Nyi Mas Kawunganten, karena tanah bagian barat belum ada yang jadi pikuat agama drigama. Adapun yang dikehendaki adalah sang putra bernama Pangeran Mohammad Hasanudin. Sang istri berkata, “Setuju sekali, namun mohon bertempat di lingkungan Kawunganten.” Jeng Sunan Jati meluluskannya. Lalu Jeng Sunan Jati bertolak ke Kawunganten bersama dengan sang istri dan sang putra yaitu Pangeran Moh. Hasanudin (Pangeran Sebakingkin) dengan  menggunakan kapal layar, dan sampailah mereka di tepi pantai Jawa bagian barat. Mereka menuju wilayah Kawunganten. Sesampainya mereka di sana, seluruh penduduk dikumpulkan. Berkata Jeng Sunan Jati, “Semoga kalian jadi tahu sekarang aku membangun pikuat mengukuhkan agama sebagai wakil mutlakku, menjabat sebagai penata agama ialah putraku yang bernama Pangeran Moh. Hasanudin.” Jeng Sunan Jati lalu memerintahkan mambangun kraton di ibukota. Seluruh penduduk sudah menuruti, Pangeran Moh. Hasanudin termasyhur dengan sebutan Kanjeng Sultan Moh. Hasanudin dan mendiami Kesultanan Banten. Jeng Sunan Jati sudah selesai menobatkan sang putra menjabat sebagai Sultan Banten dan diberi keris Aki Naga Gede dan lain-lain pada tahun 1526 M.
Antara hari kemudian lalu Jeng Sunan Jati pulang ke Cirebon menggunakan kapal layar. Sampai di tengah lautan, mendapat bahaya. Kapal layar terputar di pusaran air. Segera Jeng Sunan Jati menyawuk/menangkap air yang berpusar itu, dan sekonyong-konyong air yang ditangkap tadi berubah menjadi keris ber-luk sembilan, yang kemudian diberi nama Keris Aki Banyu Mulek.
Akhirnya, pusaran air pun lenyap dan kembali seperti semula. Hingga akhirnya Jeng Sunan Jati dan para pengikutnya sampai kembali di pantai Cirebon.