29.
RAJA GALUH DAN SAYEMBARA PANGURAGAN
Di kraton
Rajagaluh, sang Prabu Cakraningrat sedang mengadakan pertemuan dengan sejumlah
pejabat kraton dan wadyabala. Berkata sang Prabu, “Wahai Dipati Palimanan, mana
keterangannya Sunan Cirebon, sebab itu adalah orang ngumandi/ menjadi benalu.
Sudah lama belum ada ijinnya.” Dipati Palimanan menjawab, “Duhai Gusti mohon
ampunan Dalem karena tidak berhasil, betapa seringnya hamba mengurus para
gegedeng dan bertindak pribadi, akan tetapi negara Cirebon tidak terlihat,
sementara apabila para gegedeng dapat melihat Sunan Jati atau bisa memasuki
negara Cirebon dan bertemu dengan Sunan Jati, mereka tidak pulang kembali, para
gegedeng sudah banyak yang pada anut/
ikut.”
Berkata
sang Prabu, “Demang Rajagaluh
sekarang supaya bertolak ke Cirebon sampai bertemu sendiri dengan Sunan Jati,
harap diberitahu supaya mau menghadap ke Rajagaluh, dan harus mengirim upeti
tiap tahun. Kalau tidak anut
kepadaku, niscaya Sunan Cirebon akan dirampas kekayaannya dan akan kupotong
lehernya, kalau menghendaki perang tentu aku serbu lalu akan aku bikin Cirebon
menjadi tanah hitam (dibumihanguskan).”
Ki Demang
mengucap sandika lalu memohon pamit menuju Cirebon dengan membawa empat puluh
orang prajurit. Dalam perjalanan menuju Cirebon, Ki Demang dan para prajurit
sering berputar-putar kembali lagi ke tempat semula, kalau ke utara terus
tersesat ke utara, kalau ke selatan terus tersesat ke selatan, senantiasa
tersesat tak tentu arah.
Diceritakan,
Ki Gedeng Selapan sedang bertapa di
gunung Mendang ingin sekali mempunyai anak yang sakti. Permulaan bertapa, bunga
pundak baru kuncup, sekarang berjatuhan di hadapan Ki Gedeng Selapan
seolah-olah permohonannya dikabulkan oleh Sang Pencipta, di antara bunga pundak
yang jatuh di tanah itu ternyata menjadi bayi perempuan. Bayi perempuan itu
lalu dibawanya pulang.
Kemudian
bayi perempuan itu diberi nama Panguragan.
(Menurut versi lain, Panguragan adalah putra angkat dari Sultan Aceh dan
seorang adik kandung perempuan dari Fadilah
Khan/Faletehan. Pangeran Cakrabuana lalu membangun
dukuh/pemukiman dengan menanami tanaman serba jadi, yang selanjutnya dukuh itu
disebut dukuh Panguragan).
Sekian
tahun lamanya, kini Nyi Mas Panguragan sudah berumur lima belas tahun, dan ia
sudah berguru kepada Jeng Sunan Gunung Jati. Dikatakan oleh Jeng Sunan Jati,
bahwa walaupun Nyi Mas Panguragan adalah prempuan tetapi ia adalah prajurit
Awliya.
Nyi Mas
Panguragan sudah termasyhur ke lain-lain desa akan kesaktian dan keelokan paras
rupanya, bahkan sudah banyak para gegedeng, dipati, para satria, bahkan juragan
yang sudah melamarnya.
Ki Gedeng
Selapan memanggil putrinya yang dikenal juga dengan nama Gandasari. Berkata Ki Selapan, “Putriku Panguragan, aku minta
engkau supaya mau bersuami, sudah cukup waktunya engkau mempunyai suami, mana
yang engkau pilih dari salah seorang mereka semua. Para Demang, satria, dipati,
gegedeng, dan para juragan yang sedang menunggu di pondokannya masing-masing,
beritahulah kepada Bapak.”
Nyi Mas
Panguragan/ Gandasari menjawab, “Rama, hamba mau bersuami akan tetapi kalau
hamba sudah terkalahkan oleh siapa saja yang bisa menangkap hamba, yang
melebihi kesaktian hamba, itulah orang yang hamba akan mengabdi kepadanya,
jangan lagi para pembesar, walaupun orang melarat kalau bisa menagkap hamba itu
tandanya jodoh hamba.
Ki Gedeng
Selapan lalu memerintahkan pembantunya untuk menyampaikan sayembara tersebut
pada seluruh laki-laki yang hendak melamar Nyi Mas Gandasari/ Panguragan.
Mendengar pengumuman itu, para pelamar berebut saling mendahului.
Nyi Mas
Gandasari sudah memasuki arena sayembara di tengah-tengah balabar/ batas medan sayembara dengan berbusana putri raja yang
indah. Sang Putri berkata, “Wahai para pria yang hendak melamarku, barangsiapa
yang dapat menangkapku, niscaya aku akan mengabdi kepadanya.” Segera para
pelamar maju serentak saling berebut menangkap sang putri, sang putri pun siap
siaga. Dengan gugup, Ki Gedeng Plered berusaha menangkapnya, tapi sang putri
segera melesat ke atas. Ki Gedeng pun jatuh terjengkang. Ki Gedeng Plumbon
berusaha menangkap Nyi Mas Gandasari, akan tetapi ia pun jatuh terjerembab. Ki
Ujung Gebang pun berusaha menangkap sang putri, namun juga terjatuh. Giliran Ki
Gedeng Kandanggaru hendak menangkap sang putri yang berlari cepat, sang putri
dikejar hingga sampai di pedesaan, masuk ke dalam hutan, seluruh daun dan pepohonan
yang tersentuh tubuh Nyi Mas Gandasari menjadi ikut berbau harum. Adapun
wilayah hutan yang menjadi tempat berjatuhannya bunga dan daun di hutan itu
kelak dikenal dengan nama dukuh Wanasari.
Sang Putri
terus berlari hingga sampai di ladang persawahan. Ki Gedeng Kandanggaru
berusaha menangkapnya namun tak kunjung berhasil, hingga Nyi Mas Gandasari
kembali ke tempat sayembara dan disambut oleh orang-orang dengan gegap gempita.
Diceritakan,
dua orang putra seberang yang bernama Jaka
Supetak dan Jaka Pekik dengan
mengepalai wadyabala seratus siluman yang berwujud manusia, baru mendarat di
pantai Cirebon. Mereka hendak menerobos negara dan menguasai tanah Jawa, namun
datangnya tersesat di Cirebon. Kedua putra ini kebingungan lalu berjalan ke
arah masing-masing untuk menyelidiki daerah baru itu. Jaka Pekik berjalan ke
arah selatan, dan Jaka Supetak berjalan ke arah barat hingga sampai di daerah
Panguragan, yang bersamaan dengan terdengarnya suara gegap gempita. Ia melihat
sedang ada sayembara, kemudian segera ia menuju tempat sayembara tersebut.
Nyi Mas
Gandasari melihat kedatangan Jaka Supetak, kemudian Jaka Supetak memperkenalkan
diri. Berkata Jaka Supetak, “Namaku Jaka Supetak, putra dari seberang, hendak
mengikuti ke arah Jaka Supetak, namun datangnya panah ke tubuh Jaka Supetak
hanya seperti batu yang dilemparkan. Melihat hal itu, sang putri lalu memegang
senjata andalannya dan segera diarahkan ke tubuh Jaka Supetak. Jaka Supetak
menangkis serangan tersebut dengan sebuah keris, hingga terpercik api bersemburan.
Sang putri merasa tidak kuat kemudian lari, Jaka Supetak mengejarnya.
Pada saat
itu, Kanjeng Sinuhun Jati Purba yang sedang berdiri di tepi sebuah sungai,
tidak berapa lama datanglah Nyi Mas Gandasari meminta bantuan. Jaka Supetak pun
sampai di hadapan mereka, lalu berkata, “Wahai Paman, engkau janganlah
menghalangi buruanku. Nyi Mas Panguragan telah kalah dalam pertandingan,
karenanya ia sudah dipastikan menjadi istriku.” Berkata Jeng Sunan Jati, “Aku
belum melihat Nyi Mas Panguragan kalah dalam pertandingan. Kalau sang putri
dapat terangkat olehmu, nyatalah ia jodoh engkau.” Jaka Supetak segera
mengangkat sang putri, namun sang putri ternyata tidak bisa terangkat, bahkan tidak
dapat bergerak sedikitpun. Berulang kali dicobanya, namun tak membuahkan hasil.
Akhirnya Jaka Supetak menyerah sambil terdiam.
Jeng Sunan
Jati berkata, “Itulah buahnya orang-orang yang mendahului kersa Illahi, jadi engkau mengunggul-ungguli, menghebat-hebati,
wadyabala engkau adalah siluman berwujud manusia, engkau menyangka lebih sakti
mau merebut negara dan menguasai tanah Jawa akan tetapi kenyataannya oleh
perempuan saja engkau tidak bisa mengalahkannya.”
Jaka
Supetak kemudian bersimpuh sambil bertanya. “Siapakah Tuan ini namanya, hamba
merasa Tuan beribu sakti perwira, terimalah keris ini, baiknya Tuan bunuh
hamba, hamba merasa malu sekali.” Keris lalu diterima, Jeng Sunan Jati berkata,
“Aku adalah Susuhunan Cirebon, Jati Purba namaku. Jaka Supetak, engkau belum
waktunya mati, baiknya turut ke Cirebon, bangunlah sebuah dukuh di sana.” Jaka
Supetak bersikukuh pada pendiriannya, ia berkata, “Hamba merasa malu sekali,
hamba seterusnya tidak bisa bercampur lagi dengan manusia, namun hamba mohon
ijin untuk bermukim di dalam sungai ini.” Segera Jaka Supetak dan wadyabalanya
terjun ke dalam sungai. Lalu mereka bersalin rupa menjadi buaya. Selanjutnya
sungai tersebut dikenal dengan Sungai/ Kali Kapetakan. Jeng Sunan Jati menyuruh Nyi Mas Gandasari pulang kembali
ke Panguragan, dan Jeng Sunan Jati kembali ke Cirebon.
Diceritakan,
ada seorang satria yang baru datang di pantai Cirebon. Satria ini bernama Syarif Syam. Ia mendapat petunjuk untuk
mencari guru yang mursyid/ guru penunjuk Awliya Kutub di Cirebon, dan guru
inilah yang dapat memotong rambutnya yang panjang dan keras seperti kawat.
Syarif Syam
yang telah sampai di pantai Cirebon hendak mencari guru Awliya Kutub kemudian
meneruskan perjalanan hingga sampai di sebuah kebun bayam. Ia melihat ada
seorang lelaki yang sedang membentongi/
memukul buah gayam untuk diambil isinya. Ia menghampiri lelaki tua itu dan
bertanya, “Wahai Aki, di mana tempatnya Awliya Cirebon dan ke mana arahnya
kota?” Berkata Syekh Bentong, “Ke
arah Selatan arahnya negara Cirebon, mungkin pula Waliyullah juga di situ
kediamannya dan anda dari mana, siapa namanya, dan apa keperluannya?”
Syarif Syam
menjawab, “Saya berasal dari negara Syam, Syarif Syam namaku hendak berguru
kepada Awliya Cirebon dan yang bisa memotong rambutku. Sungguh aku akan
mengabdi padanya. Juga aku membawa kitab dan perahu untuk mufakatan perihal
ilmu.” Berkata Ki Bentong, “Itu kitab dua perahu bagaimana membacanya, bagi
orang Jawa untuk mengerti Syahadat saja itu sudah terhitung dhoif (lemah).”
Berkata
Syarif Syam, “Ini sudah waktu Dhuhur, jangan berbincang saja. Marilah kita
sholat, Ki. Di mana tempatnya sholat?” Berkata Ki Bentong, “Di bungbung/ bambu ini yang terkait pagar,
di situlah tempatnya aku menjalankan sholat, silahkan anda masuk ke dalam bungbung ini.” Syarif Syam
terheran-heran dan berkata, “Wahai Aki, masuklah anda terlebih dahulu nanti aku
mengikuti.” Segera Ki Bentong masuk ke dalam bungbung sambil memanggil-manggil Syarif Syam. Syarif Syam melihat
bahwa bungbung itu ternyata adalah sebuah pintu besar, lalu ia masuk, dan di
dalamnya terlihatlah masjid yang lebih besar dan banyak orang yang turut
makmum. Syarif Syam lalu turut makmum, yang menjadi Imam ternyata adalah Ki
Bentong.
Sesudahnya
sholat Dhuhur, Syarif Syam lalu bersimpuh sambil berkata, “Duhai Kyai, mohon
ampunan Dalem, sungguh Paduka itu adalah Awliya Allah, hamba mohon berguru, dan
semoga Paduka mau memotong rambut hamba.” Ki Bentong lalu menerimanya sebagai
murid dan memberi wejangan ilmu kedhohiran dan kegunaan perwira sakti. Setelah
selesai, Ki Bentong lalu berkata, “Adapun ilmu kebathinan ketauhidan, Sunan
Cirebon nanti yang memberi wejangan dan yang akan memotong rambut anda dan anda
diberi nama Pangeran Remagelung.
Sebaiknya ananda segera datang ke Cirebon.” Remagelung mengucap sandika, lalu
mohon pamit meneruskan perjalanannya.
Antara lama
kemudian Remagelung berjumpa dengan seorang kakek tua. Berkata Remagelung,
“Wahai Kakek tua di mana tempatnya Sunan Cirebon.” Berkata Kakek tua, “Wallahu
a’lam tempatnya Sunan Cirebon dan anda dari mana, siapa namanya, dan apa
kemauannya?” Remagelung menjawab, “Aku putra dari Syam hendak berguru kepada
Sunan Cirebon yang bisa memotong rambutku, sungguh aku akan mengabdi
kepadanya.” Kakek tua berkata lagi, “Kasihan sekali orang Syam ini, rambutnya
bergelantungan tidak dapat digelung karena kerasnya seprti kawat, kalau
menjadikan sukalilanya saya akan
memotongnya, namun saya minta melihatnya dari belakang.”
Remagelung
berkata, “Sukalila/ suka ridho kalau
Kakek Tua mau memotongnya.” Segera Remagelung membelakanginya. Kakek Tua lalu
memegang rambutnya, segera rambut itu getas/
rapuh putus berjatuhan di tanah. Kakek Tua lalu lenyap. Remagelung kehilangan
Kakek Tua, ternyata sudah gundul kepalanya. Remagelung seterusnya dikenal
dengan nama Pangeran Sukalila,
karena suka/ ridho dipotong rambutnya dan jadi masyhur tempat itu disebut Karanggetas, sebab mengingat tatkala getas/ rapuhnya rambut Remagelung. Lalu
rambut itu ditanamnya di bawah pohon asem di tempat itu pula.
Segera
Pangeran Sukalila meneruskan perjalanannya mencari Kakek Tua siang malam tidak
ditemukan. Lalu ia menuju ke arah utara barat, kemudian sampai di daerah
Panguragan, melihat keramaian orang-orang yang mengikuti sayembara sambil
bersorak gegap gempita.
Diceritakan,
pada waktu itu Sang Ratna Panguragan sudah keluar berada di tengah-tengah medan
laga di dalam balabar arena sayembara
sambil sesekali bertarung dengan para satria dan pejabat yang hendak
melamarnya.
Pada suatu
kesempatan, Pangeran Sukalila datang sudah di hadapan Ratna Panguragan/ Nyi Mas
Gandasari. Berkata Sang Putri, “Hai satria, siapa anda yang turut masuk
sayembara?” Pangeran Sukalila berkata, “Namaku Syarif atau dikenal juga sebagai
Remagelung, putra negara Syam. Anda siapa, seorang perempuan dikeroyok oleh
orang-orang dua puluh lima negara, rupanya anda prajurit perwira sakti, ulahnya
cekatan, lebih pantasnya kalau diperistri olehku. Anda jangan berperang
sendirian, apa karenanya anda dikeroyok, aku hendak membantu.”
Nyi Mas
Gandasari berkata, “Aku mengadakan sayembara, siapa saja yang bisa menagkap
mengungguli saya, niscaya saya akan mengabdi kepadanya sebagai seorang istri,
walaupun dia orang melarat kalau bisa menangkap saya, itu tandanya jodoh saya.”
Berkata
Syarif Syam (Remagelung/Pangeran Sukalila), “Sebaiknya anda menurut kepadaku
untuk menghindari kemungkinan tewas, sayang sekali oleh kecantikan anda yang punjul.” Berkata Sang putri, “Hai
satria, sombong sekali perkataan anda, kalau anda sungguh perwira sakti,
siapkanlah dada anda ditimpa sarotama/
tombak-ku.” Segera sang putri melepas sarotama dan melepas senjata-senjata
laksana hujan. Pangeran Remagelung/ Sukalila memadahi senjata panah tak ada
satupun yang mempan. Segera Sang Putri mencabut patrem dan ditusukkannya ke arah Pangeran Remagelung, tapi sang
pangeran hanya berdiri saja sambil tersenyum. Sang putri segera ditangkapnya,
tapi tidak dapat tertangkap, seperti menangkap bayangan. Akhirnya terjadilah
kejar-kejaran antara mereka berdua.
Diceritakan,
Kanjeng Sunan Jati sedang membangun ketemanggungan
dan masjid Jagabayan dan tempat
penjagaan untuk orang-orang jaga di pintu kota pada tahun 1500 M, sedang berdiri di pintu di pintu gerbang bersama Ki Kuwu
Cakrabuana. Tidak lama kemudian ada datangnya Nyi Mas Gandasari bersembunyi di
belakang Sunan Jati. Kemudian datang juga Pangeran Remagelung/ Sukalila di
hadapan Jeng Sunan Jati. Berkata Pangeran Sukalila, “Wahai Paman, mohon jangan
berdiri di situ, minggirlah dahulu.” Jeng Sunan Jati tidak beranjak sedikitpun.
Pangeran Sukalila habis kesabarannya, Jeng Sunan Jati pun diterjangnya sambil
berusaha menangkap Nyi Mas Gandasari. Tiba-tiba Pangeran Sukalila seolah lumpuh
jatuh tak bergerak di hadapan Jeng Sunan Jati. Pangeran Sukalila meminta maaf
dan berkata, “Duhai Gusti, mohon perampunan. Siapakah Paduka, hamba tidak
mengetahui.” Sunan Jati berkata, “Aku adalah Sunan Cirebon, Jati Purba namaku.
Siapakah anda dan berasal dari mana?” Pangeran Sukalila menjawab, “Hamba adalah
putra Syam, Syarif nama hamba, dikenal juga sebagai Sukalila. Memang Padukalah
yang hamba cari selama ini. Hamba bermaksud berguru kepada Paduka semoga Paduka
mau mengangkat hamba sebagai murid, dan hamba mohon agar dapat dijodohkan
dengan wanita yang bernama Gandasari.”
Jeng Sunan
Jati menerima yang dikatakan oleh Pangeran Sukalila, lalu berkata, “Gandasari,
engkau aku tari/damai kalau bersuami
dengan Pangeran Sukalila.” Nyi Mas Gandasari menjawab, “Hamba menurut kehendak
Paman, akan tetapi hamba mohon bathin.” Berkata Sunan Jati, “Pangeran Sukalila
dari kesediaannya Gandasari supaya minta bersuami nanti saja di bathin, oleh
karena itulah anda supaya menerimanya.” Berkata Pangeran Sukalila, “Mematuhi kehendak
Dalem Gandasari di bathin adalah istri hamba, di lahir hamba bersaudara dengan
Gandasari.” Perjanjian Nyi Mas Gandasari dengan Pangeran Sukalila disaksikan
oleh Ki Kuwu Cirebon dan Sunan Jati Cirebon. Selanjutnya Pangeran Sukalila
disuruh membangun sebuah dukuh. Pangeran Sukalila yag telah mendapat ijin
kemudian meneruskan perjalanan ke arah utara, dan tibalah ia di sebuah pohon
kendal yang besar. Di dekat pohon kendal itulah ia membangun sebuah dukuh, yang
selanjutnya termasyhur dengan sebutan dukuh Karangkendal. Pangeran Sukalila juga dikenal dengan nama Pangeran Karangkendal.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar