Right click disabled

25 Jul 2012

Babad Cirebon - oleh PS. Sulendraningrat (bagian 1)




BABAD CIREBON
(Disusun oleh PS. Sulendraningrat)


PRAKATA
Yang disuguhkan dalam tulisan ini adalah terjemahan dari tulisan huruf pegon/ huruf Arab berbahasa Cirebon madya yang asli/ otentik. Semoga bermanfaat sebagai pegangan untuk menengah-nengahi Babad Tanah Jawi dan Babad Cirebon dari luar yang simpang siur sejare-jare akibat Nusantara (Indonesia) khususnya pulau Jawa yang telah dijajah lebih kurang 350 tahun lamanya. Semoga bermanfaat.


1.      NEGARA PAJAJARAN

Kerajaan Pajajaran yang dipimpin oleh Sri Sang Ratu Dewata Wisesa, masyhur disebut Sri Mahaprabu Siliwangi memiliki putra mahkota yang bernama Walangsungsang, dari permaisuri bernama Ratu Subanglarang. Walangsungsang mempunyai dua orang adik laki-laki dan perempuan, yaitu Rarasantang dan Sengara.
Suatu hari, Pangeran Walangsungsang duduk termenung setelah semalam bermimpi bertemu dengan seorang lelaki yang elok dan agung dan memberi wejangan agama mengenai agama Islam. Melihat putranya sedang duduk termenung, kemudian Prabu Siliwangi menghampiri dan menanyakan pada putranya. Walangsungsang kemudian menceritakan perihal mimpinya tersebut. Kemudian Prabu Siliwangi berkata pada putranya agar tidak terlalu memikirkan mimpi tersebut. Namun Walangsungsang tetap bersikeras ingin mendalami agama Islam. Karena dianggapnya sang putra menentang nasehat, Sang Prabu pun murka kemudian mengusir Pangeran Walangsungsang keluar kerajaan. Pangeran Walangsungsang pun pergi menuju arah Timur. Selang empat hari setelah kepergian kakaknya, Rarasantang yang merasa sedih akhirnya ikut menyusul sang kakak pergi.
Kepergian Rarasantang secara diam-diam membuat seisi kerajaan panik. Ratu Subanglarang menangis karena kedua anaknya pergi. Sang Prabu segera memanggil menghadap seluruh para putra sentara, patih, bupati, dan wadyabala dikumpulkan. Sang Prabu berkata, “Hai Patih Argatala, Dipati Siput, sekarang carilah putriku Dewi Rarasantang yang hilang dari kraton dan Walangsungsang disuruh pulang. Sungguh jangan tidak teriring keduanya”. Patih Argatala menjawab sandika. Ia segera keluar kraton dan mengumumkan kepada seluruh wadyabala di Pajajaran yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru mencari Putri Rarasantang dan Pangeran Walangsungsang . Mereka takut dan tidak berani pulang sebelum mendapat karya.


2.      GUNUNG MARAAPI

Diceritakan, Pangeran Walangsungsang telah sampai di kaki gunung Maraapi (di Rajadesa, Ciamis Timur) sedang bersemedi, tak lama kemudian datanglah Sanghyang Danuwarsih, dan menanyakan jatidiri Pangeran Walangsungsang. Pangeran Walangsungsang pun menjelaskan jatidirinya dan maksud kedatangannya. Setelah cukup lama berbincang, Sanghyang Danuwarsih kemudian mengajak Pangeran Walangsungsang ke kediamannya. Setelah sampai di kediamannya, Sanghyang Danuwarsih mengenalkan Pangeran Walangsungsang pada anaknya, yaitu Nyi Mas Indangayu. Eyang Danuwarsih sangat gembira bertemu dengan Pangeran Walangsungsang dan berniat menjodohkannya dengan anaknya. Keduanya menyetujui, dan dengan direstui oleh Sanghyang Danuwarsih, kemudian diselenggarakan acara pernikahan mereka, pada tahun 1442 M. Pangeran Walangsungsang pada waktu itu berusia 23 tahun.
Ratu Mas Rarasantang yang sedang dalam perjalanan berada di gunung Tangkubanprahu, kelelahan beristirahat di bawah pohon beringin dengan menggosok kakinya yang pada bengkak. Ia menangis sambil memanggil-manggil nama kakaknya. Tak lama kemudian datang seseorang yang bernama Nyi Indang Sukati di hadapannya dan berkata, “Wahai putri, engkau siapa dan apa yang engkau cari di sini sendirian tanpa kawan?” Sang Dewi Rarasantang menjawab, ”Eyang, hamba sesungguhnya putri Pajajaran dari Ibu Subanglarang. Rarasantang nama hamba, yang dituju menyusul saudara tua Walangsungsang, mohon pertolongan Eyang, semoga lekas bertemu”. Nyi Indang Sukati merasa kasihan, dan berkata “Engkau datanglah terlebih dahulu ke gunung Liwung, temuilah Ajar Sakti, di situlah dapat petunjuk”. Rarasantang pun pamit melaksanakan anjuran Nyi Endang Sukati. Beberapa waktu kemudian, ia telah sampai di gunung Liwung dan bertemu dengan Ki Ajar Sakti, dan bertanya mengenai keberadaan kakaknya. Ki Ajar Sakti waspada penglihatannya, mengetahui maksud sang putri. Ia berkata, “Tuan Putri, kakak engkau Walangsungsang sudah mempunyai istri, Indang Ayu namanya, putri Sanghyang Danuwarsih yang berada di gunung Maraapi, sebaiknya engkau menyusul ke sana dan aku beri engkau nama Ratnaeling, kelak engkau akan mempunyai putra lelaki yang punjul sebuana”. Sang putrid mengucap terima kasih dan pamit menuju gunung Maraapi yang dimaksud oleh Ki Ajar Sakti.
Syahdan, Pangeran Walangsungsang yang sedang duduk berbincang dengan Sang Danuwarsih. Berkata Sang Danuwarsih, “Hai putraku Walangsungsang, terimalah cincin pusaka turunan dari Dipati Suryalaga sama turunan engkau. Ini wataknya cincin Ampal, kalau diterawangkan tahu isinya jagat bumi, hanya ini terimalah aji-aji dan kememayan (melumpuhkan), pengabaran (menurut), dan pekasih (pengasihan)”. Walangsungsang mengucap terima kasih sambil menerima semua pemberian sang ayahanda. Ketika mereka sedang duduk berbincang, tak lama kemudian datanglah sang Dewi Rarasantang dan bertemu dengan sang kakak setelah lama tak berjumpa. Pertemuan berlangsung mengharukan. Berkata Walangsungsang sambil menangis, “Duhai adikku, sungguh bahagia kakanda masih bisa bertemu dengan engkau. Apa sebabnya engkau menyusul, tidakkah engkau lebih senang di dalam kraton, dan engkau mendapat petunjuk jalan dari siapa?”
Rarasantang berkata sambil menangis perihal perjalanannya dari awal hingga akhir. Istri Pangeran Walangsungsang yaitu Nyi Indang Ayu menghampiri mereka dan bertanya pada suaminya. Menjawab sang pangeran, “Ini saudari kandungku seayah seibu, Rarasantang namanya”. Nyi Indang Ayu pun merangkul adik iparnya dengan perasaan haru.


3.      GUNUNG CIANGKUP

Setelah antara sebulan lamanya, Sang Danuwarsih berkata, “Wahai Walangsungsang, Indangayu dan Rarasantang, sekarang baik berguru kepada Sanghyang Nanggo di gunung Ciangkup, mudah-mudahan mendapat sihnya guru”. Mereka bertiga mematuhi perintah Kanjeng Rama, mengucap pamit dan menempuh perjalanan menuju gunung Ciangkup. Walngsungsang pun bertemu dengan Sanghyang Nanggo dan mengutarakan maksud kedatangannya. Sanghyang Nanggo menerima Pangeran Walangsungsang sebagai murid dan memberi ilmu kanuragan seperti menghilang, kekuatan, kekebalan. Sang Nanggo juga memberikan sebilah golok pusaka para leluhur yang disebut Golokcabang. Walangsungsang mengucap terima kasih atas semua pemberian sang guru.


4.      GUNUNG KUMBANG

Sekian lama Pangeran Walangsungsang berguru di gunung Ciangkup, Sang Nanggo berkata, “Putraku Walangsungsang, sekarang baik engkau bergurulah lagi pada Sanghyang Naga di gunung Kumbang, mudah-mudahan ada sihnya guru”. Walangsungsang mematuhi perintah gurunya, ia beserta istri dan adiknya mengucap pamit dan menuju gunung Kumbang yang dimaksud oleh sang guru. Setelah menempuh perjalanan, sampailah mereka di hadapan Sanghyang Naga dan mengutarakan maksud kedatangan mereka. Sanghyang Naga menerima Pangeran Walangsungsang sebagai murid dan memberikan ilmu kanuragan. Sang Naga berkata, “Dan ini pusaka yang tiga macam kepunyaan Juwata, terimalah dari sih pemberian dewa, ialah topi waring, kalau dipakai tidak terlihat oleh semua penglihatan, badong batok berwatak dianuti oleh siluman dan setan pada suka asih, umbul-umbul waring berwatak rahayu dari senjata musuh dan melemahkan musuh”. Walangsungsang menerima semua pemberian sang guru dan mengucapkan terima kasih, kemudian jimat yang warna tiga itu disimpan dalam cincin Ampal.


5.      GUNUNG CANGAK

Sanghyang Naga berkata, “Sekarang engkau bergurulah ke gunung Cangak, di situ engkau akan mendapat petunjuk perihal agama Islam, namun diakali dulu Ratunya Bangau hingga sampai tertangkap”. Pangeran Walangsungsang mematuhi perintah gurunya, ia beserta istri dan adiknya mengucap pamit dan menuju gunung Kumbang yang dimaksud oleh sang guru.
Setelah menempuh perjalanan, sampailah mereka di gunung Cangak, dan ketika sedang berada di bawah pohon beringin besar, Walangsungsang terheran-heran melihat sedemikian banyak burung bangau berseliweran, dan bermaksud mencari mana yang menjadi ratunya. Segera ia memakai topi waring dan mengeluarkan sebuah wadah yang berisi ikan kecil diletakkan di atas pohon. Karena ampuhnya aji penurutan Sang Nata, seekor bangau yang bertubuh lebih besar segera turun. Ikan yang ada dalam wadah pun dipatuknya. Walangsungsang segera menangkap leher sang Bangau dan mengancamnya dengan golok cabang. Sang Bangau memohon ampun dan berkata, “aku janji akan memberikan pusaka tiga macam yaitu panjang, pendil, dan bareng/bende”. Akhirnya sang Bangau dilepaskan, lalu ia berkata, “Hai manusia, susullah aku di puncak gunung ini yang berada di pohon beringin”. Walangsungsang segera menyusul dan berubahlah pohon beringin menjadi sebuah kraton yang besar dan megah. Walangsungsang dijamu di dalam kraton, kemudian datanglah Sanghyang  Luhung duduk sejajar.
Walangsungsang berkata, “Hai pendeta, siapakah anda yang bertemu di hadapan menjadikan terkejutnya hatiku?” Sanghyang Luhung menjawab, “Sanghyang Bangu namaku, yang membangun kayuwangan di gunung Cangak, sekarang aku hendak memenuhi janji memasrahkan jimat pusaka yang tiga macam: Piring panjang berwatak tidak diisi lagi akan mengisi sendiri lengkap dengan lauknya, Pendil berwatak kalau dikeruk nasinya bisa mencukupi kebutuhan banyak orang, Bareng/ bende wataknya keluar air banjir dan suaranya membingungkan musuh”. Pangeran Walangsungsang pun menerima pemberian tersebut dan berguru pada Sang Bangu beberapa lamanya.


11 Jul 2012

Kesultanan Cirebon



Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.

Sejarah
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

Perkembangan awal

Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.
Ki Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.

Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)
Pangeran Cakrabuana (…. –1479)
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.
Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.
Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.
Panembahan Ratu I (1570-1649)
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.
Panembahan Ratu II (1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.

Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Sultan Ageng Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti Panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu Trunojoyo, yang saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram. Dengan bantuan Trunojoyo, maka kedua putra Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan dan dibawa kembali ke Cirebon untuk kemudian juga dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Cirebon.
Perpecahan I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
  • Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
  • Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
  • Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.
Perpecahan II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).

Masa kolonial dan kemerdekaan
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.
Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.

Perkembangan terakhir
Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (FKN).
Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.
Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk pengangkatan tahta Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton tersebut.