25.
PERANG DEMAK – MAJAPAHIT
Suatu waktu
diberitakan di Ampelgading, Jeng Sunan Ampel wafat. Seluruh Wali dan para murid
berkumpul dan memakamkan Jeng Sunan Ampel. Beberapa hari setelah pemakaman,
Sultan Palembang dan Pangeran Patah minta sangat seluruh para Wali dimohon
datang ke pedukuhan Demak. Kemudian para Wali membangun masjid Demak dimulai
ba’da Isya dan pada waktu Subuh selesai, akan tetapi setelah mau diadakan
shalat Subuh para Wali merasa ragu perihal kiblatnya. Para Wali masih belum
mufakat arahnya kiblat. Segera Sunan Kalijaga bertindak, tangan kanan memegang
Baitullah, tangan kiri memegang masjid, lalu disentuhkan sampai rapat. Barulah
para Wali mufakat arahnya kiblat. Kemudian para Wali mulai shalat Subuh,
peristiwa ini terjadi pada tahun 1411 Sakakala atau 1489 M. Selesainya shalat Subuh, para Wali melihat ada sebuah
bungkusan yang menggantung berupa baju jubah yang dibungkus dengan kulit dan
ada tulisan yang ditujukan kepada Sunan Bonang. Baju jubah dari sih pemberian Jeng Nabi Muhammad SAW
semoga diberikan kepada Jeng Sunan Kalijaga karena yang mengesahkan kiblatnya
masjid. Para Wali memuji syukur kepada Allah SWT. Baju jubah lalu diterima oleh
Jeng Sunan Kalijaga, segera dipakainya dan jubah tersebut diberi nama Jubah Antakusuma. Adapun bungkusnya
yang berupa kulit itu diberikan pada Sunan Bonang, kemudian dibuat menjadi
sebuah baju kecil yang disebut Baju Ki
Kundil. Kemudian para Wali berembug/mengadakan rapat di masjid Demak,
membahas perihal Raja Majapahit yang belum memeluk Islam.
Berkata
Sunan Bonang, “Oleh karena Rama di Ampel sudah wafat sirna sempurna, maka
sekarang Raja di Majapahit dapat kita bujuk untuk memeluk Islam, bagaimana
mufakatnya para saudara”.
Berkata
Sunan Jati Cirebon, “Raka Aryadila dan Pangeran Patah sebaiknya mengirim surat
terlebih dahulu kapada Prabu Majapahit dimohon memeluk Islam, kalau nanti sang
Prabu menolak dan murka karenanya, barulah kita hadapi”. Sunan Undung berkata,
“Seumpama sang Prabu menolak dan karenanya kita terpaksa mengadakan peperangan,
bolehlah orang Undung yang jadi Senopati ing
ngalaga”.
Raja
Aryadila dan Pangeran Patah mematuhi nasehat Sunan Gunung Jati, lalu menulis
sebuah surat, punggawa tujuh yang diutus membawa surat itu datang sudah di
Majapahit, surat pun diterima oleh Prabu Brawijaya. Sang Prabu membaca seluruh
isi surat, segera punggawa tujuh diusirnya. Sang Prabu begitu murka, ia lalu
memanggil Dipati Teterung, diperintah mengumumkan kepada seluruh
wadyabala, bupati, sentana mantri dan tamtama diharuskan siap siaga seluruh
alat perang, siaga penuh untuk berperang.
Tujuh
utusan yang diusir pulang ke Demak dan menghadap para Wali. Kemudian diputuskan
oleh para Wali, yang menjadi senopati perang adalah Sunan Undung. Segera Sunan
Undung mengenakan baju Ki Kundil dan Jubah Antakusuma. Telah dicapai mufakat
dan penuh siap siaga untuk berperang. Barisan Demak, Palembang, Cirebon,
Undung, Kudus, Bonang dan seluruh wadyabala Islam sudah disiapkan menuju
Majapahit. Sampailah pasukan tersebut di wilayah Majapahit, bala tentara
Majapahit pun sudah siap siaga menghadang. Lalu Pangeran Kudus memukul tanda bende/gong si Macan.
Pecahlah
perang besar antara bala tentara Islam di bawah pimpinan Demak melawan bala
tentara Majapahit. Sorak sorai pasukan dan suara senjata beradu begitu dahsyat
bergemuruh dalam perang tersebut.
Diceritakan,
Senopati ngalaga Kanjeng Sunan Undung maju di medan laga, menantang gembar-gembor,
“Hai orang Majapahit, di manakah Raja kalian Brawijaya, kalau mau aku Islamkan
kalau tidak, akan kami hukum”. Dipati Teterung mendengar ucapan tersbut lalu
menjawab, “Siapa yang gembar gembor menantang tapi seperti setan tidak
terlihat, kalau engkau sesungguhnya Wali perlihatkanlah diri engkau, hadapilah
Senopati Majapahit, Dipati Teterung namanya”.
Kanjeng
Sunan Undung mengetahui pastinya memperoleh derajat Awliya Sabilullah, lalu Sunan Undung melepaskan baju dan jubah,
memperlihatkan dirinya. Baju Ki Kundil dan Jubah Antakusuma melesat pulang
dengan sendirinya kembali ke empunya. Segera dengan cepat Dipati Teterung
menombak tubuh Sunan Undung dan jatuhlah ia di tanah, gugur berbarengan dengan
terdesaknya pasukan Islam. Sunan Kalijaga mengetahui bahwa Sunan Undung gugur
lalu jenazahnya diambil dibawa pulang. Sunan Kudus yang menggantikan jadi
Senopati. Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati segera maju ke medan laga,
diiringi oleh Ki Kuwu Cirebon. Aryadila sudah di tengah-tengah medan perang
membawa peti jimat lalu peti dibuka mengeluarkan gelap gulita menyerang
menyelimuti musuh. Sunan Bonang menghunus keris yang mengeluarkan ribuan lebah
menyengat musuh. Ki Kuwu Cirebon mengusap badon
batok yang mengeluarkan banyak tikus, mengamuk dan menyerang paukan Majapahit.
Seluruh pasukan Majapahit geger panik, diliputi gelap gulita, disengat ribuan
lebah, diserang ratusan tikus. Akhirnya pasukan Majapahit tercerai berai dan
dapat dipukul mundur, sebagian menyerah dan sebagian lagi berlari ke gunung.
Sedangkan Dipati Teterung sudah dibelenggu oleh Pangeran Kudus.
Mengetahui
pasukannya kalah, Prabu Brawijaya lalu ngahyang/keluar
dari kraton bersama istri dan para putri dari Cempa, mereka lenyap dari
pemandangan. Seluruh Bupati sentara mantri dan kraton sekekayaannya telah
diambil alih oleh pasukan para Wali. Rakyat Majapahit pun akhirnya memeluk
agama Islam.
Tidak lama
kemudian Prabu Kediri, sebuah negara bagian Majapahit yang bernama Grindha Wardhana mengumumkan Majapahit
merdeka tidak takluk kepada Demak beribukota di Kediri.
Kemudian
para Wali mengadakan riungan di pesanggrahan Demak. Pangeran Kudus sudah datang
mengiringkan tawanannya, yaitu Dipati Teterung dan para Bupati sentana mantri
dan rampasan perang berupa dunyabrana/emas
picis dan lain-lain. Berkata Pangeran Kudus, “Semoga diterima dengan hormat
menyerahkan tawanan dan rampasan perang, namun Dipati Teterung dimohon hukum
mati karena telah membunuh Ramanda Sunan Undung”. Berkata Sunan Gunung Jati,
“Dipati Teterung diminta supaya memeluk agama Islam. Adapun gugurnya Sunan
Undung itu lebih sempurna derajatnya Awliya
Sabilullah lantaran dari Dipati Teterung dan sebanyak dunyabrana itu agar dibagikan sebagai ganjaran pada
prajurit-prajurit yang turut berperang. Adapun para Bupati, sentara, mantri,
seluruh wadyabala Majapahit supaya diserahkan kepada rayi Pangeran Patah, sebab
yang empunya waris yang akan menjadi
Raja meneruskan kedudukannya Sang Prabu Brawijaya, akan tetapi raka
Sultan Palembang hendaknya mau menyetujuinya, oleh karena raka sudah menjadi
Sultan di Palembang”. Jeng Sultan Palembang pun menyetujui di tanah Jawa sang
rayi Pangeran Patah yang menjadi raja. Para Wali sudah mufakat. Aryadilla
berkata, ”Rayi Patah menjadi raja di tanah Jawa akan tetapi para akrab yang
sudah memeluk agama Islam seyogyanya diberi tanah atau lainnya sebagai warisnya
dari sih kemurahannya saudara dan
yang adil olehnya menjadi raja, berpeganglah kepada hukum Rasulullah apa yang
disebut dalam Al Qur’an”.
Berkata
Sunan Jati, “Sudah waktunya Rayi Patah dinobatkan menjadi raja di kraton
Demak”. Segera Sunan Kalijaga mengumumkan kepada khalayak rakyat Demak bahwa
Sunan Jati Purba dan para Wali menetapkan Pangeran Patah dinobatkan menjadi
Raja/Sultan/Susuhunan di kraton Demak yang mangkurat/memangku
se-nusa Jawa sebelah Timur mengganti Raja Majapahit. Seluruh rakyat Jawa Tengah
dan Jawa Timur sudah mengakui Raden Patah sebagai raja Tanah Jawa yang
berkedudukan di Kraton Demak. Raden Patah termashur dengan sebutan Sunan Bentara dan Kanjeng Sultan Abdul Patah pada akhir tahun 1489 M (bersamaan dengan tahun didirikannya Masjid Demak yaitu pada
tahun 1411 Sakakala/1489 M).
Majapahit
Grindhra Wardhana Kediri dapat direbut oleh Demak pada tahun 1517 M. Juga Prabu Udara Singosari (sesudah ibukota Majapahit Trowulan ambruk,
Gridhra Wardhana raja negara Majapahit mengumumkan Majapahit merdeka,
ibukotanya Kediri, dengan gelar Prabu Brawijaya VI dan Prabu Udara dengan gelar
Prabu Brawijaya VII).
Oleh karena
Sunan Bentara sudah jadi raja tanah Jawa yang berkedudukan di kraton Demak,
segera memberi ganjaran seluruh para Wali dan para pinangeran pula seluruh
akrab dan para wadya sudah menerima ganjaran. Semua Crebon diberikan pengakuan
menjadi Sunan mangkurat/memangku di
Jawa Barat bersemayam di kraton Pakungwati Cirebon dan diberi keris tombak baris
upacara pula Raden Sepat, Gedeng Trepas
sebawahannya seratus orang, sebaliknya Cirebon memberikan pengakuan kepada
kesultanan Demak. Sunan Giri sudah menerima ganjaran tetap senegara dan Sunan
Bonang diberi ganjaran tanah senegara dan diangkat menjadi Susuhunan. Adapun
Pangeran Kudus diganjar tanah senegara pula dari Undung serakyatnya tetap
diwaris oleh Pangeran Kudus sebagai putranya dan diangkat menjadi Susuhunan dan
ditetapkan sebagai Senapati ngalaga
Demak.
Adapun
Sunan Kalijaga diberi tanah senegara, akan tetapi yang dipilih tanah yang
berawa dibangun kraton menjadi Susuhunan
Kadilangu. Ada para Wali dari daerah Barat empat orang yang menolak
ganjaran yaitu Syekh Bentong, Syekh Lemahabang, Syekh Maghribi, dan Syekh
Majagung.
Ada
tembang/nyanyian Jawa yang berbunyi: “Ana
bonteng ginotong wong wolu” (artinya, “Ada timun yang diangkat orang
delapan”). Makna yang tersirat adalah, seumpama Demak tidak dibantu oleh para
Wali yang delapan orang (Sunan Ampel sudah wafat), terutama oleh Cirebon yang
sudah lama jadi negara beragama Islam, pasti kesultanan Demak tidak akan ada di
dunia, karena melawan Majapahit itu laksana “timun melawan durian” dan
kesultanan Demak baru penuh jadi negara merdeka dan berdaulat di seluruh bekas
kawasan Majapahit setelah direbutnya Kediri dan Singosari pada tahun 1517 M.
Sangkalan tahun didirikannya Masjid Agung Demak ialah dengan gambar bulus/penyu/kura-kura yang
bermakna: kepalanya = 1, tubuhnya = 1, kakinya = 4, ekornya = 1, jadi 1141
dibalik menjadi 1411 Sakakala atau 1489 M.
26.
KRATON PAKUNGWATI DIPUGAR
DAN DIBANGUNNYA MASJID AGUNG CIREBON
Diceritakan
Sunan Cirebon dan Ki Kuwu Cirebon sudah pulang ke negaranya bersama dengan
Aryadila Sultan Palembang, Pangeran Makdum, Pangeran Drajat, Pangeran Welang,
Raden Sepat, Gedeng Trepas, dan para tawanan dari Majapahit. Sunan Jati beberapa
hari kemudian menghendaki agar kraton Pakungwati diperlebar seperti kraton
Majapahit hanya agak kecil. Orang-orang Majapahit sudah bertindak, Raden Sepat
dan Gedeng Trepas yang mengurus, Sunan Kalijaga yang menjadi kepala, kemudian
kraton selesai dipugar pada tahun 1489 M. Pada tahun itu juga tidak antara lama
para Wali pada berkumpul hendak meneruskan membangun masjid Agung karena
tadinya pondasinya sudah dibuat, sekarang hendak diteruskan. Mulai dibangun
ba’da Isya dan pada waktu Subuh sudah selesai, hanya kurang satu tiang. Lalu
Sunan Kalijaga bertindak mengumpulkan tatal/serpihan
kayu jati yang dibuat sedemikian rupa hingga menjadi tiang, untuk melengkapi
tiang yang kurang. Oleh karena itu, tiang ini disebut Saka Tatal. Sangkalan dibangunnya Masjid Agung Cirebon ialah: munggal = 1, mangil = 1, mungup = 1,
jemblung = 2, gateling = 1, asu = 1, jadi 11 121 = 41 dibalik jadi 1411
Sakakala (1489 M).
27.
PANGERAN KUNINGAN
Diceritakan, di Kuningan setelah wafatnya Dipati Awangga asal Cianjur
sebagai pejabat daerah, Pangeran Kuningan, Ki Gedeng Kemuning dan empat putra
lelaki Dipati Awangga hendak memberitahu Cirebon perihal ini. Kemudian mereka
menghadap Jeng Sunan Jati. Jeng Sunan Jati berkata, “Sekarang putraku Pangeran
Kuningan aku angkat dengan diberi gelar Pangeran Dipati Awangga yang memangku
negara Kuningan anak anda yang jadi saudara tunggal sepersusuan dengan Pangeran
Kuningan. Adapun anak rayi Dipati Awangga almarhum yang pertama diberi gelar Dipati Anom, yang kedua Dipati Cangkwang, yang ketiga Dipati Sukawayana, dan yang keempat Dipati Selanunggal menjabat sebagai
pembantu Pangeran Dipati Kuningan. Adapun anak anda Arya Kemuning menjabat sebagai pelaksananya.”
Setelah selesai keputusan Jeng Sunan Jati, Ki Gedeng Kemuning lalu mohon
pamit bersama Pangeran Dipati Awangga pulang kembali menuju Kuningan. Peristiwa
in terjadi pada tahun 1499 M.
28.
BANTEN
Diceritakan,
Kanjeng Sunan Gunung Jati sedang berembug dengan sang istri yaitu Nyi Mas
Kawunganten, karena tanah bagian barat belum ada yang jadi pikuat agama drigama. Adapun yang dikehendaki adalah sang putra
bernama Pangeran Mohammad Hasanudin. Sang istri berkata, “Setuju sekali, namun
mohon bertempat di lingkungan Kawunganten.” Jeng Sunan Jati meluluskannya. Lalu
Jeng Sunan Jati bertolak ke Kawunganten bersama dengan sang istri dan sang
putra yaitu Pangeran Moh. Hasanudin (Pangeran Sebakingkin) dengan menggunakan kapal layar, dan sampailah mereka
di tepi pantai Jawa bagian barat. Mereka menuju wilayah Kawunganten.
Sesampainya mereka di sana, seluruh penduduk dikumpulkan. Berkata Jeng Sunan
Jati, “Semoga kalian jadi tahu sekarang aku membangun pikuat mengukuhkan agama sebagai wakil mutlakku, menjabat sebagai
penata agama ialah putraku yang bernama Pangeran Moh. Hasanudin.” Jeng Sunan
Jati lalu memerintahkan mambangun kraton di ibukota. Seluruh penduduk sudah
menuruti, Pangeran Moh. Hasanudin termasyhur dengan sebutan Kanjeng Sultan Moh.
Hasanudin dan mendiami Kesultanan Banten. Jeng Sunan Jati sudah selesai
menobatkan sang putra menjabat sebagai Sultan Banten dan diberi keris Aki Naga
Gede dan lain-lain pada tahun 1526 M.
Antara hari
kemudian lalu Jeng Sunan Jati pulang ke Cirebon menggunakan kapal layar. Sampai
di tengah lautan, mendapat bahaya. Kapal layar terputar di pusaran air. Segera
Jeng Sunan Jati menyawuk/menangkap
air yang berpusar itu, dan sekonyong-konyong air yang ditangkap tadi berubah
menjadi keris ber-luk sembilan, yang kemudian diberi nama Keris Aki Banyu Mulek.
Akhirnya,
pusaran air pun lenyap dan kembali seperti semula. Hingga akhirnya Jeng Sunan
Jati dan para pengikutnya sampai kembali di pantai Cirebon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar