Right click disabled

29 Okt 2012

Babad Cirebon - oleh PS Sulendraningrat (bagian 7)




25.      PERANG DEMAK – MAJAPAHIT

Suatu waktu diberitakan di Ampelgading, Jeng Sunan Ampel wafat. Seluruh Wali dan para murid berkumpul dan memakamkan Jeng Sunan Ampel. Beberapa hari setelah pemakaman, Sultan Palembang dan Pangeran Patah minta sangat seluruh para Wali dimohon datang ke pedukuhan Demak. Kemudian para Wali membangun masjid Demak dimulai ba’da Isya dan pada waktu Subuh selesai, akan tetapi setelah mau diadakan shalat Subuh para Wali merasa ragu perihal kiblatnya. Para Wali masih belum mufakat arahnya kiblat. Segera Sunan Kalijaga bertindak, tangan kanan memegang Baitullah, tangan kiri memegang masjid, lalu disentuhkan sampai rapat. Barulah para Wali mufakat arahnya kiblat. Kemudian para Wali mulai shalat Subuh, peristiwa ini terjadi pada tahun 1411 Sakakala atau 1489 M. Selesainya shalat Subuh, para Wali melihat ada sebuah bungkusan yang menggantung berupa baju jubah yang dibungkus dengan kulit dan ada tulisan yang ditujukan kepada Sunan Bonang. Baju jubah dari sih pemberian Jeng Nabi Muhammad SAW semoga diberikan kepada Jeng Sunan Kalijaga karena yang mengesahkan kiblatnya masjid. Para Wali memuji syukur kepada Allah SWT. Baju jubah lalu diterima oleh Jeng Sunan Kalijaga, segera dipakainya dan jubah tersebut diberi nama Jubah Antakusuma. Adapun bungkusnya yang berupa kulit itu diberikan pada Sunan Bonang, kemudian dibuat menjadi sebuah baju kecil yang disebut Baju Ki Kundil. Kemudian para Wali berembug/mengadakan rapat di masjid Demak, membahas perihal Raja Majapahit yang belum memeluk Islam.
Berkata Sunan Bonang, “Oleh karena Rama di Ampel sudah wafat sirna sempurna, maka sekarang Raja di Majapahit dapat kita bujuk untuk memeluk Islam, bagaimana mufakatnya para saudara”.
Berkata Sunan Jati Cirebon, “Raka Aryadila dan Pangeran Patah sebaiknya mengirim surat terlebih dahulu kapada Prabu Majapahit dimohon memeluk Islam, kalau nanti sang Prabu menolak dan murka karenanya, barulah kita hadapi”. Sunan Undung berkata, “Seumpama sang Prabu menolak dan karenanya kita terpaksa mengadakan peperangan, bolehlah orang Undung yang jadi Senopati ing ngalaga”.
Raja Aryadila dan Pangeran Patah mematuhi nasehat Sunan Gunung Jati, lalu menulis sebuah surat, punggawa tujuh yang diutus membawa surat itu datang sudah di Majapahit, surat pun diterima oleh Prabu Brawijaya. Sang Prabu membaca seluruh isi surat, segera punggawa tujuh diusirnya. Sang Prabu begitu murka, ia lalu memanggil Dipati Teterung,  diperintah mengumumkan kepada seluruh wadyabala, bupati, sentana mantri dan tamtama diharuskan siap siaga seluruh alat perang, siaga penuh untuk berperang.
Tujuh utusan yang diusir pulang ke Demak dan menghadap para Wali. Kemudian diputuskan oleh para Wali, yang menjadi senopati perang adalah Sunan Undung. Segera Sunan Undung mengenakan baju Ki Kundil dan Jubah Antakusuma. Telah dicapai mufakat dan penuh siap siaga untuk berperang. Barisan Demak, Palembang, Cirebon, Undung, Kudus, Bonang dan seluruh wadyabala Islam sudah disiapkan menuju Majapahit. Sampailah pasukan tersebut di wilayah Majapahit, bala tentara Majapahit pun sudah siap siaga menghadang. Lalu Pangeran Kudus memukul tanda bende/gong si Macan.
Pecahlah perang besar antara bala tentara Islam di bawah pimpinan Demak melawan bala tentara Majapahit. Sorak sorai pasukan dan suara senjata beradu begitu dahsyat bergemuruh dalam perang tersebut.
Diceritakan, Senopati ngalaga Kanjeng Sunan Undung maju di medan laga, menantang gembar-gembor, “Hai orang Majapahit, di manakah Raja kalian Brawijaya, kalau mau aku Islamkan kalau tidak, akan kami hukum”. Dipati Teterung mendengar ucapan tersbut lalu menjawab, “Siapa yang gembar gembor menantang tapi seperti setan tidak terlihat, kalau engkau sesungguhnya Wali perlihatkanlah diri engkau, hadapilah Senopati Majapahit, Dipati Teterung namanya”.
Kanjeng Sunan Undung mengetahui pastinya memperoleh derajat Awliya Sabilullah, lalu Sunan Undung melepaskan baju dan jubah, memperlihatkan dirinya. Baju Ki Kundil dan Jubah Antakusuma melesat pulang dengan sendirinya kembali ke empunya. Segera dengan cepat Dipati Teterung menombak tubuh Sunan Undung dan jatuhlah ia di tanah, gugur berbarengan dengan terdesaknya pasukan Islam. Sunan Kalijaga mengetahui bahwa Sunan Undung gugur lalu jenazahnya diambil dibawa pulang. Sunan Kudus yang menggantikan jadi Senopati. Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati segera maju ke medan laga, diiringi oleh Ki Kuwu Cirebon. Aryadila sudah di tengah-tengah medan perang membawa peti jimat lalu peti dibuka mengeluarkan gelap gulita menyerang menyelimuti musuh. Sunan Bonang menghunus keris yang mengeluarkan ribuan lebah menyengat musuh. Ki Kuwu Cirebon mengusap badon batok yang mengeluarkan banyak tikus, mengamuk dan menyerang paukan Majapahit. Seluruh pasukan Majapahit geger panik, diliputi gelap gulita, disengat ribuan lebah, diserang ratusan tikus. Akhirnya pasukan Majapahit tercerai berai dan dapat dipukul mundur, sebagian menyerah dan sebagian lagi berlari ke gunung. Sedangkan Dipati Teterung sudah dibelenggu oleh Pangeran Kudus.
Mengetahui pasukannya kalah, Prabu Brawijaya lalu ngahyang/keluar dari kraton bersama istri dan para putri dari Cempa, mereka lenyap dari pemandangan. Seluruh Bupati sentara mantri dan kraton sekekayaannya telah diambil alih oleh pasukan para Wali. Rakyat Majapahit pun akhirnya memeluk agama Islam.
Tidak lama kemudian Prabu Kediri, sebuah negara bagian Majapahit yang bernama Grindha Wardhana mengumumkan Majapahit merdeka tidak takluk kepada Demak beribukota di Kediri.
Kemudian para Wali mengadakan riungan di pesanggrahan Demak. Pangeran Kudus sudah datang mengiringkan tawanannya, yaitu Dipati Teterung dan para Bupati sentana mantri dan rampasan perang berupa dunyabrana/emas picis dan lain-lain. Berkata Pangeran Kudus, “Semoga diterima dengan hormat menyerahkan tawanan dan rampasan perang, namun Dipati Teterung dimohon hukum mati karena telah membunuh Ramanda Sunan Undung”. Berkata Sunan Gunung Jati, “Dipati Teterung diminta supaya memeluk agama Islam. Adapun gugurnya Sunan Undung itu lebih sempurna derajatnya Awliya Sabilullah lantaran dari Dipati Teterung dan sebanyak dunyabrana itu agar dibagikan sebagai ganjaran pada prajurit-prajurit yang turut berperang. Adapun para Bupati, sentara, mantri, seluruh wadyabala Majapahit supaya diserahkan kepada rayi Pangeran Patah, sebab yang empunya waris yang akan menjadi  Raja meneruskan kedudukannya Sang Prabu Brawijaya, akan tetapi raka Sultan Palembang hendaknya mau menyetujuinya, oleh karena raka sudah menjadi Sultan di Palembang”. Jeng Sultan Palembang pun menyetujui di tanah Jawa sang rayi Pangeran Patah yang menjadi raja. Para Wali sudah mufakat. Aryadilla berkata, ”Rayi Patah menjadi raja di tanah Jawa akan tetapi para akrab yang sudah memeluk agama Islam seyogyanya diberi tanah atau lainnya sebagai warisnya dari sih kemurahannya saudara dan yang adil olehnya menjadi raja, berpeganglah kepada hukum Rasulullah apa yang disebut dalam Al Qur’an”.
Berkata Sunan Jati, “Sudah waktunya Rayi Patah dinobatkan menjadi raja di kraton Demak”. Segera Sunan Kalijaga mengumumkan kepada khalayak rakyat Demak bahwa Sunan Jati Purba dan para Wali menetapkan Pangeran Patah dinobatkan menjadi Raja/Sultan/Susuhunan di kraton Demak yang mangkurat/memangku se-nusa Jawa sebelah Timur mengganti Raja Majapahit. Seluruh rakyat Jawa Tengah dan Jawa Timur sudah mengakui Raden Patah sebagai raja Tanah Jawa yang berkedudukan di Kraton Demak. Raden Patah termashur dengan sebutan Sunan Bentara dan Kanjeng Sultan Abdul Patah pada akhir tahun 1489 M (bersamaan dengan tahun didirikannya Masjid Demak yaitu pada tahun 1411 Sakakala/1489 M).
Majapahit Grindhra Wardhana Kediri dapat direbut oleh Demak pada tahun 1517 M. Juga Prabu Udara Singosari (sesudah ibukota Majapahit Trowulan ambruk, Gridhra Wardhana raja negara Majapahit mengumumkan Majapahit merdeka, ibukotanya Kediri, dengan gelar Prabu Brawijaya VI dan Prabu Udara dengan gelar Prabu Brawijaya VII).
Oleh karena Sunan Bentara sudah jadi raja tanah Jawa yang berkedudukan di kraton Demak, segera memberi ganjaran seluruh para Wali dan para pinangeran pula seluruh akrab dan para wadya sudah menerima ganjaran. Semua Crebon diberikan pengakuan menjadi Sunan mangkurat/memangku di Jawa Barat bersemayam di kraton Pakungwati Cirebon dan diberi keris tombak baris upacara pula Raden Sepat, Gedeng Trepas sebawahannya seratus orang, sebaliknya Cirebon memberikan pengakuan kepada kesultanan Demak. Sunan Giri sudah menerima ganjaran tetap senegara dan Sunan Bonang diberi ganjaran tanah senegara dan diangkat menjadi Susuhunan. Adapun Pangeran Kudus diganjar tanah senegara pula dari Undung serakyatnya tetap diwaris oleh Pangeran Kudus sebagai putranya dan diangkat menjadi Susuhunan dan ditetapkan sebagai Senapati ngalaga Demak.
Adapun Sunan Kalijaga diberi tanah senegara, akan tetapi yang dipilih tanah yang berawa dibangun kraton menjadi Susuhunan Kadilangu. Ada para Wali dari daerah Barat empat orang yang menolak ganjaran yaitu Syekh Bentong, Syekh Lemahabang, Syekh Maghribi, dan Syekh Majagung.
Ada tembang/nyanyian Jawa yang berbunyi: “Ana bonteng ginotong wong wolu” (artinya, “Ada timun yang diangkat orang delapan”). Makna yang tersirat adalah, seumpama Demak tidak dibantu oleh para Wali yang delapan orang (Sunan Ampel sudah wafat), terutama oleh Cirebon yang sudah lama jadi negara beragama Islam, pasti kesultanan Demak tidak akan ada di dunia, karena melawan Majapahit itu laksana “timun melawan durian” dan kesultanan Demak baru penuh jadi negara merdeka dan berdaulat di seluruh bekas kawasan Majapahit setelah direbutnya Kediri dan Singosari pada tahun 1517 M. Sangkalan tahun didirikannya Masjid Agung Demak ialah dengan gambar bulus/penyu/kura-kura yang bermakna: kepalanya = 1, tubuhnya = 1, kakinya = 4, ekornya = 1, jadi 1141 dibalik menjadi 1411 Sakakala atau 1489 M.



26.      KRATON PAKUNGWATI DIPUGAR
DAN DIBANGUNNYA MASJID AGUNG CIREBON

Diceritakan Sunan Cirebon dan Ki Kuwu Cirebon sudah pulang ke negaranya bersama dengan Aryadila Sultan Palembang, Pangeran Makdum, Pangeran Drajat, Pangeran Welang, Raden Sepat, Gedeng Trepas, dan para tawanan dari Majapahit. Sunan Jati beberapa hari kemudian menghendaki agar kraton Pakungwati diperlebar seperti kraton Majapahit hanya agak kecil. Orang-orang Majapahit sudah bertindak, Raden Sepat dan Gedeng Trepas yang mengurus, Sunan Kalijaga yang menjadi kepala, kemudian kraton selesai dipugar pada tahun 1489 M. Pada tahun itu juga tidak antara lama para Wali pada berkumpul hendak meneruskan membangun masjid Agung karena tadinya pondasinya sudah dibuat, sekarang hendak diteruskan. Mulai dibangun ba’da Isya dan pada waktu Subuh sudah selesai, hanya kurang satu tiang. Lalu Sunan Kalijaga bertindak mengumpulkan tatal/serpihan kayu jati yang dibuat sedemikian rupa hingga menjadi tiang, untuk melengkapi tiang yang kurang. Oleh karena itu, tiang ini disebut Saka Tatal. Sangkalan dibangunnya Masjid Agung Cirebon ialah: munggal = 1, mangil = 1, mungup = 1, jemblung = 2, gateling = 1, asu = 1, jadi 11 121 = 41 dibalik jadi 1411 Sakakala (1489 M).



27.      PANGERAN KUNINGAN

Diceritakan, di Kuningan setelah wafatnya Dipati Awangga asal Cianjur sebagai pejabat daerah, Pangeran Kuningan, Ki Gedeng Kemuning dan empat putra lelaki Dipati Awangga hendak memberitahu Cirebon perihal ini. Kemudian mereka menghadap Jeng Sunan Jati. Jeng Sunan Jati berkata, “Sekarang putraku Pangeran Kuningan aku angkat dengan diberi gelar Pangeran Dipati Awangga yang memangku negara Kuningan anak anda yang jadi saudara tunggal sepersusuan dengan Pangeran Kuningan. Adapun anak rayi Dipati Awangga almarhum yang pertama diberi gelar Dipati Anom, yang kedua Dipati Cangkwang, yang ketiga Dipati Sukawayana, dan yang keempat Dipati Selanunggal menjabat sebagai pembantu Pangeran Dipati Kuningan. Adapun anak anda Arya Kemuning menjabat sebagai pelaksananya.”
Setelah selesai keputusan Jeng Sunan Jati, Ki Gedeng Kemuning lalu mohon pamit bersama Pangeran Dipati Awangga pulang kembali menuju Kuningan. Peristiwa in terjadi pada tahun 1499 M.




28.      BANTEN

Diceritakan, Kanjeng Sunan Gunung Jati sedang berembug dengan sang istri yaitu Nyi Mas Kawunganten, karena tanah bagian barat belum ada yang jadi pikuat agama drigama. Adapun yang dikehendaki adalah sang putra bernama Pangeran Mohammad Hasanudin. Sang istri berkata, “Setuju sekali, namun mohon bertempat di lingkungan Kawunganten.” Jeng Sunan Jati meluluskannya. Lalu Jeng Sunan Jati bertolak ke Kawunganten bersama dengan sang istri dan sang putra yaitu Pangeran Moh. Hasanudin (Pangeran Sebakingkin) dengan  menggunakan kapal layar, dan sampailah mereka di tepi pantai Jawa bagian barat. Mereka menuju wilayah Kawunganten. Sesampainya mereka di sana, seluruh penduduk dikumpulkan. Berkata Jeng Sunan Jati, “Semoga kalian jadi tahu sekarang aku membangun pikuat mengukuhkan agama sebagai wakil mutlakku, menjabat sebagai penata agama ialah putraku yang bernama Pangeran Moh. Hasanudin.” Jeng Sunan Jati lalu memerintahkan mambangun kraton di ibukota. Seluruh penduduk sudah menuruti, Pangeran Moh. Hasanudin termasyhur dengan sebutan Kanjeng Sultan Moh. Hasanudin dan mendiami Kesultanan Banten. Jeng Sunan Jati sudah selesai menobatkan sang putra menjabat sebagai Sultan Banten dan diberi keris Aki Naga Gede dan lain-lain pada tahun 1526 M.
Antara hari kemudian lalu Jeng Sunan Jati pulang ke Cirebon menggunakan kapal layar. Sampai di tengah lautan, mendapat bahaya. Kapal layar terputar di pusaran air. Segera Jeng Sunan Jati menyawuk/menangkap air yang berpusar itu, dan sekonyong-konyong air yang ditangkap tadi berubah menjadi keris ber-luk sembilan, yang kemudian diberi nama Keris Aki Banyu Mulek.
Akhirnya, pusaran air pun lenyap dan kembali seperti semula. Hingga akhirnya Jeng Sunan Jati dan para pengikutnya sampai kembali di pantai Cirebon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar