Right click disabled

22 Sep 2012

Babad Cirebon - oleh PS Sulendraningrat (bagian 6)




22.      PARA PUTRA SINUHUN CIREBON

Diceritakan, Yang Sinuhun Cirebon sudah mempunyai putra yang lahir dari Nyi Mas Kawunganten, yaitu yang pertama adalah Ratu Winaon, Pangeran Muhammad Hasanuddin. Yang lahir dari Nyi Mas Rarakerta adalah Pangeran Jayalelana. Yang lahir dari Kanjeng Ratu Pakungwati adalah Ratu Ayu, Pangeran Dipati Muhammad Arifin lahir di liang lahat (karena ibunya meninggal sebelum melahirkannya).
Suatu hari Sunan Kalijaga sedang merantau, tiba di kebun Kalijaga bertemu dengan Jeng Sunan Jati. Sunan Kalijaga tertawa menyambut Jeng Sunan Jati dan menyungkeminya. Jeng Sunan Jati berkata sambil senyum, “Rayi/adik Kalijaga bagaimana hasil yang dimaksud sudah berhasil atau belum, akan tetapi Rayi bercahaya awungwung (seperti cahaya pelangi) laksana pangrasuknya/akibat ilmu sejati”. Sunan Kalijaga menjawab, “Sungguh betul perkataan Paduka, sungguh Paduka itu Wali Kutub, mengetahui jalannya kemuliaan, hamba lebih setia tuhu menghadap kepada Paduka dan hamba mohon izin hendak bermukim di tempat kebun Kalijaga ini”. Jeng Sunan Jati meluluskannya.
Raden Seҫa/Lokajaya/Sunan Kalijaga membuka perkebunan dan melakukan kelakuan Jaya Sampurna, yaitu mandi malam setiap waktu sepertiganya malam. Sunan Kalijaga begitu termashur, tetangga desa banyak yang anut, Ki Kotim adalah murid yang pertama.
Antara beberapa hari, Sunan Kalijaga menghadap kepada Sunan Cirebon, datang sudah di hadapannya. Berkata Jeng Sunan, “Ada keperluan apa, Rayi Sunan Kalijaga?” Berkata Sunan Kalijaga, “Mohon diterangkan artinya mimpi, tadi malam hamba bermimpi memanggil bulan”. Jeng Sunan Jati mengetahui kehendaknya, segera berkata, “Rayi/adik itu akan mendapat jodoh putriku yaitu Ratna Winaon, putriku pasti berjodoh dengan Rayi, dan Jum’ah depan akan dinikahkan”. Sunan Kalijaga menyetujuinya. Setelah nikah, Sunan Kalijaga lalu menjabat sebagai Wakil Imam.



23.      DUKUH DEMAK

Di pesanggrahan Ampeldenta/Ampelgading, Jeng Sinuhun Ampel sedang diseba. Seluruh murid, para kerabat dan putra, juga Kanjeng Sultan Palembang Aryadila, dan Pangeran Patah menghadap seperti ada keperluan yang penting. Jeng Sultan Palembang berkata, “Mohon berembugnya, bagaimana karena Rama Prabu Brawijaya belum Islam, dirasakan tidak enak dalam hati”. Jeng Sunan Ampel berkata, “Betul, Rama anda itu masih belum Islam, camkanlah jangan dulu diganggu sebelum aku sirna meninggal, sebab sudah pasti Pangeran Patah yang akan menggantikan kedudukan ayahandanya. Sang Raja Brawijaya, yang kelak akan mengkurat/memangku setanah Jawa sebelah Timur tanah Sunda, akan tetapi sekarang babakyasa terlebih dahulu, bangunlah sebuah dukuh/pemukiman, carilah tanah yang ada rawa harumnya, disana bangunlah yasa/karya. Nanti kalau sudah diluluti/disenangi oleh para Wali barulah apa yang dikehendaki, aku lebih percaya.
Sultan Palembang Aryadila dan Pangeran Patah patuh pada nasehatnya Rama Guru. Segera mohon pamit hendak mencari tanah rawa harum, meneruskan perjalanannya diiring bala tentara Palembang dua ratus orang. Beberapa bulan kemudian tanah rawa harum telah ditemukan. Segera Pangeran Patah membangun dukuh/pemukiman. Ayadila mendirikan pesantren. Tetangga desanya pada anut, kemudian dukuh/pemukiman itu termashur disebut dengan pedukuhan Demak (dari tanah “demek”/berair). Kemudian seterusnya dengan keputusan Prabu Majapahit, dukuh Demak masuk dalam kawasan negara Majapahit pada tahun 1475 M.



24.      LAKU LAMPAH SUNAN JATI CIREBON
  (ASAL USUL DAERAH SANGKANURIP)

Pada suatu hari Ki Gedeng Penderesan yang sedang memahat lahang/tuak, sedang getak-getok sambil bersenandung, tidak lama kemudian datanglah Sunan Jati. Berkata Jeng Sunan Jati, “Hai Gedeng Penderesan, anda sedang membaca doa apa sedemikian nyaringnya, lebih baik kita saling tukar, aku punya doa yang lebih bagus dan tidak usah dengan suara nyaring lagi, kalau tidak percaya cobalah terlebih dahulu”. Berkata Ki Gedeng Penderesan, “Ini orang lebih ngerekel (seenaknya sendiri saja), ada doa pemahat mau ditukar, coba berilah aku pelajaran terlebih dahulu, kalau sekiranya bagus kepada lahang, saya akan meneruskannya”. Jeng Sunan segera memberi wejangan dua kalimah Syahadat. Ki Gedeng sudah menerimanya, lalu mencobanya, segera lahang menjadi berhenti setetespun tidak keluar. Ki Gedeng segera berkata, “Ini orang membohongi jadi mematikan pangan, engkau orang apa, buruk sekali hatinya, dan engkau orang mana?” Berkata Jeng Sunan Jati, “Aku orang Cirebon membuat keuntungan pada engkau, tapi engkau belum menerimanya”. Ki Gedeng menjawab, “Untung dari mana, lahang jadi berhenti menetes, sekarang aku minta ganti rugi harganya yang selodong/seruas bambu adalah sebaru (35 sen)”. Berkata Jeng Sunan, “Gedeng Penderesan, itu wataknya doa tadi lihatlah dalam ruas bambunya ada lebih dari harga se-real­”. Bungbung/bambu segera dilihat oleh Gedeng Penderesan, ternyata isinya penuh dengan pasir emas. Ki Gedeng segera sujud menyungkemi Jeng Sunan, lalu pulang menghormati Jeng Sunan dengan tumpeng panggang ayam. Jeng Sunan lalu memegang panggang ayam, saksana/sekonyong-konyong panggang ayam itu hidup lagi lalu terbang ke kandangnya. Berkata Jeng Sunan, “Sangkan-sangkan lantaran terjadi ayam mengeram bisa bidup kembali, sekarang engkau aku alih namanya menjadi Gedeng Sangkanurip”.
Jeng Sunan kemudian berlalu dari situ, dan sejak itu Ki Gedeng Penderesan disebut Gedeng Sangkanurip. Ki Gedeng segera menyusul hendak bermaksud bakti dengan sangkaannya mungkin ini orangnya yang bernama Sunan Jati.
Jeng Sunan Jati sedang beristirahat, tidak lama kemudian datanglah Gedeng Sangkanurip sujud meraba-raba sambil berkata, “Duhai Gusti lebih bijaksana hamba mohon ampun dan ingin berguru, mohon sih kemurahan Dalem”. Lalu Jeng Sunan pulang ke Cirebon, Ki Gedeng mengiring beliau, datang sudah di kraton Pakungwati. Seterusnya Ki Gedeng Sangkanurip sudah memeluk agama Islam.


20 Sep 2012

Babad Cirebon - oleh PS Sulendraningrat (bagian 5)



 
18.      BURAK PAJAJARAN

Pada suatu hari Ki Kuwu Sri Mangana/Cakrabuana manghadap kepada Jeng Sunan Jati. Sunan Jati berkata, “Selamat datang Ratna Uwa (Pakde) dan apa yang dikehendaki?” Berkata Sri Mangana, “Sekarang Jeng Rama Prabu Siliwangi (Sri Raja Dewata Wisesa) sudah mengirim utusan enam puluh orang yang dikepalai oleh Tumenggung Jagabaya untuk meninjau bagaimana keadaan anak cucunya (anak adalah Pangeran Cakrabuana dan Putri Rarasantang, dan cucu adalah Sunan Jati dan Ratumas Pakungwati), namun sekarang Tumenggung Jagabaya dan wadyabala Pajajaran yang enam puluh orang itu sudah memeluk agama Islam, oleh karena itu Sang Rama Prabu sudah waktunya semoga putra mau datang ke Pajajaran untuk mengislamkan Eyang/Kakek dan kerabat-kerabat, oleh karena Eyang sekarang mungkin sudah agak ada condong/sukanya”. Jeng Sunan Jati mematuhi kehendak Sang Rama Uwa, segera Jeng Sunan Jati dan Ki Kuwu Cakrabuana bertolak ke Pajajaran hendak mengislamkan mengganti agama Sanghyang dengan agama Islam.
Diceritakan, di kraton Pajajaran, Sang Prabu Siliwangi dan para istrinya bersiap-siap hendak datang meninjau sang putra Cakrabuana dan sang cucu Insankamil di Cirebon (Ratu Subanglarang/permaisuri Raja Pajajaran/Ibunda Pangeran Cakrabuana sudah wafat). Tidak lama kemudian datang Ki Buyut Talibarat sudah ada di hadapan sang prabu. Sang Prabu berkata, “Eyang Talibarat selamat datang, datangnya tergesa-gesa seperti ada perkara yang penting”. Berkata Ki Buyut Talibarat, “Wahai Paduka Prabu, apa yang dikehendaki dengan takluk pada sang cucu yang hendak menyiarkan agama Islam, sejak dulu hingga sekarang mongmonganku para leluhur yang menganut agama Dasa Mulya, ialah Sastrajendra Ayuningrat yang di-pusti amalkan, apakah sang Prabu silau melihat kepada putra cucu? Nanti kraton ini kutanami pusaka lidi lelaki supaya kraton tidak tertampak, dan sang Prabu haraplah ngahyang sekarang juga, oleh karena sang putra dan sang cucu sebentar lagi datang”.
Sang Prabu mematuhi saran Ki Buyut Talibarat. Segera kraton ditanami pusaka lidi lelaki. Para istri dibawa ngahyang lalu lenyap tanpa bekas. Kraton terlihat jadi hutan besar. Seluruh famili, para putra sentara tidak dibawa, tertinggal di kraton Pajajaran. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1482 M.
Tidak lama kemudian datanglah Jeng Sunan Jati dan Ki Kuwu Cirebon mengetahui bahwa sang Prabu sudah tidak ada dalam kraton. Akan tetapi Jeng Sunan Jati dan Ki Kuwu masih jelas melihat kraton Pajajaran itu sebagai semula lalu masuk ke dalam kraton, menangkapi para penghuninya, yang sebagian sudah bubar. Pangeran Sengara tertangkap dan para sentara, para eyang sudah di-Islamkan. Ada yang tertangkap di angkasa, ada yang tertangkap di dalam bumi. Adapun Arya Kebo Kamale sudah tertangkap akan tetapi tidak mau Islam, berjanji nanti di akhir jaman. Lalu disuruh kemit/jaga di Cirebon. Ki Patih Argatala dan bawahannya pada bersembunyi di pegunungan, Jeng Sunan jati dapat melihat mereka dan berkata, “Patih Argatala sebawahannyaseperti siluman tidak bercampur dengan manusia”. Ki Patih sujud bertobat namun berjanji memeluk Islam di akhir jaman. Jeng Sunan Jati mengampuninya akan tetapi menyuruhnya menjaga Cirebon. Jeng Sunan Jati lalu mendekati Dipati Siput dan bawahannya yang bersembunyi di hutan. Saksama/sekonyong-konyong Dipati Siput berubah menjadi macan putih, dan para bawahannya menjadi macan loreng. Dipati Siput sujud bertobat namun mohon nanti di akhir jaman menganut agama Islam. Berkata Jeng Sunan Jati, “Barangsiapa yang ikut kepada agama tidak diperbolehkan campur dengan manusia, tetapi sebagai hewan atau siluman”. Dipati Siput dan bawahannya diperintahkan untuk menjaga Cirebon.
Lalu Jeng Sunan Jati memasuki kraton Pajajaran lagi, mendekati para pembesar dan para kerabat yang anut agama Islam. Jeng Sunan Jati memanggil sang paman yaitu Raja Sengara dan berkata, “Rama hendaknya mengosongkan kraton Pajajaran. Namun Rama Dalem Cakrabuana sudah bermukim di Cirebon, akan tetapi Rama Raja Sengara jangan berdiam di kraton, oleh karena Eyang Prabu tidak mau Islam, semoga sang Rama mau bermukim di tempat lain, karena kraton Pajajaran sudah pasti menjadi hutan, hanya ini balai tempat duduk sang Rama Prabu saya mohon dibawa ke Cirebon dan alat-alat, pedang, keris, tumbak”. Raja Sengara mematuhi permintaan sang kemenakan.
Diceritakan, masih ada seorang putri perempuan Prabu Siliwangi yang tertinggal bernama Dewi Balilayaran yang mendapat jodoh dengan satria trah/turunan Galuh kuna, kemudian membangun kraton lagi di luar ibukota Pakuan, disebut Sunan Kabuaran. Negaranya meneruskan nama Pajajaran, yang kelak di jaman Prabu Seda negaranya dibubarkan oleh bala tentara Banten Sultan Maulana Yusuf dibantu oleh bala tentara Cirebon Sultan Panembahan Ratu. Prabu Seda wafat pada tahun 1579 M. Seorang putra Sunan Kabuaran yang bernama Dewi Mendapa/ Dewi Tanduran Gagang ialah yang menjadi lantaran kelak ada raja menyelang/menjajah di jaman akhir. Adalah kraton Pakuan Pajajaran setelah ngahyangnya Prabu Siliwangi itu kosong menjadi hutan lebat, tidak ada raja lagi, famili Sunda bubar ke tujuan masing-masing:   

1.   Susun Pajengan bermukim di Kuningan;  
2.   Sunan Manyak bermukim di Traju;
3.      Borosngora bermukim di Panjalu; 
4.      Raden Te’el bermukim di gunung Bandung; 
5.      Raden Lawean bermukim di Pasir Panjang; 
6.      Sanghyang Pandahan bermukim di Ukur, disebut juga Dipati Ukur; 
7.      Sanghyang Kartamana bermukim di Limbangan; 
8.      Sanghyang Sogol  bermukim di Maleber; 
9.      Sanghyang Mayak bermukim di Cilutung; 
10.  Dalem Naya bermukim di Ender; 
11.  Sunan Ranjam bermukim di Cihaur; 
12.  Lumansanjaya bermukim di Sundalarang; 
13.  Prabu Sedanglumu bermukim di Selaherang; 
14.  Sanghyang Jamsana bermukim di Batulayang; 
15.  Sanghyang Tubur bermukim di Panembong; 
16.  Sri Puaciputi bermukim di Kawali;  
17.  Taji Malela bermukim di Sumedang, kahyangan yang menurun kepada menak-menak di Sumedang, di Ciasem, di Cianjur, di Bogor, di Krawang itu semua adalah turunan Taji Malela.




19.      JENG SUNAN JATI DAN KI KUWU CIREBON BERTOLAK KE BANTEN

Jeng Sunan Jati bersama Ki Kuwu lalu bertolak terus ke arah Barat dengan tujuan ke Banten, kemudian bertemu dengan Ki Gedeng Kawunganten. Jeng Sunan Jati berhasil mengislamkan KI Gedeng Kawunganten se-anakcucunya dan serakyatnya juga sudah turut masuk Islam. Syahdan Jeng Sunan Jati berjodoh dengan putri Ki Gedeng Kawunganten yang bernama Dewi Kawunganten, kemudian mereka menikah di Banten. Setelah beberapa lamanya, mereka bertiga pamit pulang dan sampai kembali di pesanggrahan gunung Sembung.



20.      BUNG CIKAL

Pada suatu waktu bertepatan dengan hari Isnain (Senin), Kanjeng Sunan Jati yang sedang berkumpul dengan seluruh murid dan Patih Suranenggala, tidak lama kemudian datanglah Ki Gedeng Jatimerta bersama sang cucu sudah enghadap di hadapan Jeng Sunan Jati. Jeng Sunan Jati berkata, “Wahai Ki Gedeng Jatimerta datang di hadapanku, adakah yang ingin disampaikan?” Ki Gedeng Jatimerta menjawab, “Duhai Gusti, mohon ampunan Dalem, hamba lancang menghadap, oleh karena membawa putra Dalem yang telah lahir dari putri hamba, Rarakerta”. Berkata Jeng Sunan Jati, “Apa sebabnya aku mempunyai putra, karena aku belum pernah menikah dengan Rarakerta”. Ki Gedeng menjawab, “Adapun waktu dulu anak hamba Rarakerta sedang berjalan di perkebunan, ia melihat sampeyan Dalem sedang berdiri, tidak antara lama anakku Rarakerta pulang sambil menangis jatuh cinta kepada sampeyan Dalem. Pada antara hari bekas sampeyan Dalem berdiri, disungkemi oleh Rarakerta siang malam. Antara sebulan lamanya lalu tumbuh bung-nya bambu, lalu bung bambu itu dimakannya. Antara sebulan lamanya kemudian Rarakerta mengandung, dan sesudah datang pada waktunya lalu melahirkan seorang bayi lelaki, ya inilah bayi tersebut yang hamba bawa serta menghadap di hadapan Paduka”.  Jeng Sunan Jati lalu ingat waktu pertama melihat Rarakerta di perkebunan setelah ia bertafakur di gunung Jati. Segera Jeng Sunan Jati berkata, “Ki Gedeng Jatimerta, itu nyatanya anak sir, seyogyanya peliharalah dengan baik. Akan tetapi anak tersebut sekarang tidak dapat waris, wallahu a’lam kelak di akhir jaman, hanya aku memberinya nama Bung Cikal. Namun Rarakerta sekarang aku pinta untuk dijadikan istri”. Ki Gedeng mengucap sandika, lalu Bung Cikal dibawa bertapa. Nyi Mas Rarakerta kemudian menikah dengan Jeng Sunan Jati.



21.      KANJENG SINUHUN CIREBON BERTOLAK KE NEGARA MESIR

Diceritakan Jeng Sinuhun Cirebon (Jeng Sunan Jati) bertolak ke negara Mesir hendak menghadap kepada Ibundanya terus perjalanannya datang sudah di kerajaan Mesir.
Sedangkan di tanah Pasundan di Maleber Babakan Cianjur, Dipati Awangga dan sang adik Dipati Selalarang, putri Dewi Siliwati bersuami dengan Sang Ngewalarang, seorang cucu dari Prabu Siliwangi. Berkata Dipati Awangga, “Adik Selalarang, kakak tadi malam dapat sasmitanya Dewa disuruh pergi ke laut, disuruh mencari udang lelaki perempuan yang sedang beriringan, di situlah akan menemukan lantarannya kemuliaan lagi perwira sakti, adik sekarang tinggallah di sini, tidak akan pulang kalau belum terlaksana”. Segera Dipati Awangga berjalan terus ke laut, siang malam merendam diri mencari udang lelaki perempuan.
Di kerajaan Mesir, Kanjeng Sunan Jati sudah datang duduk sejajar dengan ibundanya, Kanjeng Ratu Syarifah Mudaim dan sang adik Syarif Nurullah. Berkata Jeng Sinuhun, “Semoga Ibu mengetahui di Pajajaran sudah pada masuk Islam, namun Eyang Prabu Siliwangi dan para istri tidak Islam, ngahyang meninggalkan kraton, dan putra sudah dapat jodoh, di antaranya Ong Tien putri Cina, namun tidak lama lalu meninggal, seorang putri Gedeng Babadan, seorang putri Ki Gedeng Kawunganten, putri Rama Uwa Sri Mangana yang bernama Ratu Pakungwati berikut diserahkan kratonnya, seorang putri Ki Gedeng Jatimerta bernama Rarakerta. Sudah empat istri yang ananda nikahi. Pula putra sudah menjabat sebagai Sinuhun di Cirebon diangkat oleh Rama Uwa Cakrabuana. Pula para saudara dari Baghdad telah menyerahkan seluruh pengikutnya dan para gegedeng dan para tetangga negara pada tunduk. Berkah Ibunda di Cirebon dan di Pasundan sudah terselenggara/berlaku agama Islam. Maka daripada itu semoga Ibunda berkehendak bermukim di Cirebon, karena putra senang bermukim di Cirebon. Adapun negara Mesir diserahkan kepada sang adik Nurullah”. Ibundanya menyetujui kehendak sang putra, lalu Jeng Sunan berkata, “Adik Nurullah sekarang tetap menjabat sebagai Sultan, serahlah negara Mesir seketurunannya, yang benar mengurusnya, berdasarkan hadist dalil”. Ibundanya berkata, “Hai Putra Nurullah semoga adil menjadi raja, Ibu hendak bermukim di Cirebon, Cuma Ibu minta sebagai waris kakak Putra, berupa empat macam pusaka, yaitu Pedang jimat shalawat Nabi, Kitab Usulkalam, Destar pusaka dari Rasulullah, dan Ibu minta untuk dibawakan piring-piring panjang dan barang-barang serta 40 orang dan satu buah kapal. Sang Putra mematuhi permintaan Ibunda. Segera sebuah kapal sudah dimuati piring-piring panjang dan barang- barang serta empat puluh orang abdi, lalu berangkat menuju Cirebon. Adapun Kanjeng Sinuhun bersama Kanjeng Ibu menghendaki berjalan di atas air laut.
Diceritakan, Dipati Awangga yang sedang mencari urang/udang lelaki perempuan hingga koyak-koyak pakaiannya untuk berendam di laut, akan tetapi belum berhasil senantiasa kebingungan oleh warnanya. Tidak antara lama kemudian datanglah Kanjeng Ratu Syarifah Mudaim (Rarasantang) sedang berjalan beriringan dengan sang putra Kanjeng Sinuhun di atas air laut. Sungguh terkejut Dipati Awangga melihat mereka berjalan di atas air. Segera ia menegur, “Hai manusia lelaki perempuan, berhentilah terlebih dahulu, kalian apakah sesungguhnya, manusia atau jin mrekayangan dan asal kalian dari mana?” Kanjeng Ratu Rarasanatang berkata, “Rarasantang namaku, permaisuri dari Mesir, putri Pajajaran negaranya”. Mendengar jawaban tersebut, Dipati Awangga segera menubruk menyungkemi sambil berkata, “Duhai Ibu, sungguh bahagia bertemu di sini, sesungguhnya hamba adalah putra dari adik Paduka Siliwangi, Dipati Awangga nama hamba, lantarannya putra ada di laut sini, karena kala waktu dulu ada sasmita-nya Dewa menyuruh mencari urang/udang lelaki perempuan yang sedang beriringan, di sanalah lantarannya memperoleh kemuliaan lagi perwira sakti, akan tetapi putra senantiasa kebingungan, karenanya hingga sekarang belum berhasil”. Kanjeng Sunan berkata, “Adik Dipati Awangga supaya menjadi tahu perihal sasmita-nya Dewa yang dimaksud urang/udang lelaki perempuan di atas laut yang sedang beriringan itu nyatanya adalah si kakak sebagai urang/udang lelaki dan Kanjeng Ibu sebagai urang/udang perempuan. Baik sekarang turutlah ke Cirebon bersama mengiring Jeng Ibu”.
Dipati Awangga mematuhi perkataan Kanjeng Sunan, mendadak bisa bersama berjalan di atas air laut. Tidak lama kemudian lalu datanglah sudah di kraton Pakungwati.
Ki Kuwu bergembira sekali, karena sang adik Rarasantang sudah datang. Jeng Sunan kemudian memanggil Dipati Awangga, lalu diwejang dua kalimat syahadat dan agama Islam. Sang Dipati Awangga merasa senang dan suka kepada agama Islam hingga lupa kepada anak istri dan daerahnya. Jeng Sunan berkata, “Adik sebaiknya bermukim di Kuningan mewakili sang putra yaitu Pangeran Kuningan sebagai pejabat adipati”.
Dipati Awangga mematuhi perintah sang kakak. Jeng Dipati lalu mohon pamit terus berjalan datang sudah di Kuningan. Sang Dipati Awangga lebih hati-hati olehnya mewakili dan mengurus para wadyabala dan negara. Kemudian antara sebulan, Dipati Awangga membawa anak istrinya ke Kuningan. Adiknya yaitu Dipati Selalarang juga sudah memeluk agama Islam. Dipati Awangga juga mampu membuat alat-alat keris, pedang, tombak dan baris upacara.


8 Sep 2012

Babad Cirebon - oleh PS Sulendraningrat (bagian 4)



 
14.      JENG MAULANA INSANKAMIL BERTOLAK KE NEGERI CINA

Syahdan pada suatu waktu Jeng Maulana Insankamil bertolak ke negeri Cina, datang sudah di pinggir pantai. Jeng Maulana mendatangi tukang keramik pembuat piring panjang. Mereka berbincang lama dan Jeng Maulana tidak lupa melaksanakan syiar Islam, hingga sang pembuat piring panjang tertarik dan kemudian memeluk agama Islam. Jeng Maulana pamit dan meneruskan perjalanannya hingga bertemu dengan tukang bikin penimbal poci. Seperti halnya dengan tukang keramik pembuat piring panjang, sang tukang bikin penimbal poci pun tertarik dengan ajaran Islam dan kemudian memeluk agama Islam. Jeng Maulana pun meneruskan perjalanan hingga sampai ke kerajaan Tartar dan sampai di ibukota. Orang Tartar dan pembesar-pembesarnya berturut-turut memeluk Islam. Kemudian Jeng Maulana memutuskan untuk bermukim di sana beberapa waktu lamanya. Kabar adanya seorang pemuka agama termashur yang lebih bijaksana waspada penglihatannya “weruh sedurunge winara” (tahu sebelum terjadi), terdengar oleh Raja Ong Te ratu agung di Negara Cina. Beliau memanggil semua pejabat pemerintahan. Berkata sang raja, “Hai patih, menurut kabar bahwa di Negara Tartar ada pendeta baru termashur bijaksana waspada penglihatannya, sekarang undanglah menghadap supaya bersama seperjalanan, harap jangan sampai tidak terbawa”.
Sang Patih mengucap sandika, dan berlalu dari hadapan raja kemudian segera mengendarai kudanya. Sekian waktu lamanya, sang patih bertemu dengan Jeng Maulana Insankamil lalu duduk sejajar. Berkata Jeng Maulana, “Hai Patih, selamat datang, anda datang tergesa-gesa seperti ada keperluan yang penting”. Patih berkata, “Apakah anda pendeta yang mashur itu, siapa nama anda dan dari mana asalnya?” Jeng Maulana manjawab, “Hamba berasal dari Jawa, Cirebon tempatnya, Insankamil namaku”. Lalu patih berkata, “Anda sekarang juga dipanggil menghadap oleh raja, harap ikut bersama seperjalanan”. Berkata Jeng Maulana, “Wahai Patih, harap anda berangkat terlebih dahulu nanti aku bertemu di dalam keratin, tidak usah diiringkan”. Patih menuruti permintaan Jeng Maulana dan segera kembali ke ibukota kerajaan untuk bertemu sang raja.
Beberapa lama kemudian, sang patih sampai di kerajaan dan menghadap raja. Ternyata, Jeng Maulana sudah berada di hadapan raja. Sang patih sungguh terheran-heran sekali karena Jeng Maulana sudah sampai terlebih dahulu. Segera sang raja berkata, “Apakah ini orangnya pendeta baru di Negara Tartar, dan apakah nyata kebijaksanaannya?” Patih berkata, “Sungguh menurut kabar bahwa pendeta baru itu bijaksana.”
Raja bermaksud menguji kemampuan Jeng Maulana. Putrinya yang bernama Ong Tien diberi bokor kuningan di atas perutnya dan dihias sedemikian rupa hingga sang putri terlihat seperti sedang mengandung. Lalu sang putri disuruh menghadap ayahandanya. Berkata sang raja, “Hai pendeta muda, lihatlah putriku itu apakah ia mengandung karena penyakit, atau apakah mengandung sebenarnya? Kalau kena penyakit, apa obatnya, kalau mengandung karena perbuatan siapa, selekasnya anda memberi petunjuk”. Jeng Maulana melihat dalam laukhil mahfud bahwa raja Ong Te tidak ditakdirkan Islam serakyatnya, hanya putri serombongannya. Lalu berkata Jeng Maulana, “Wahai raja Cina, anak anda itu mengandung karena kuasa Allah tanpa dikarenakan lawan jenis”. Mendengar jawaban tersebut, raja murka sekali. Jeng Maulana pun diusir keluar istana. Akhirnya Jeng Maulana menghaturkan pamit dan meneruskan perjalanannya.
Diceritakan, bokor kuningan yang berada di perut putri Ong Tien tiba-tiba lenyap dan perut sang putri nampak seperti mengandung sebenarnya. Raja terbengong-bengong dan heran sekali. Sang Putri menjadi jatuh hati pada Jeng Maulana dan siang malam menangis terus teringat  pada Jeng Maulana. Melihat hal ini, sang raja menyebar wadyabala untuk mencari Jeng Maulana di Negara Tartar, namun Jeng Maulana sudah tidak ada di tempat tersebut. Mengetahui kabar tersebut, sang putri semakin bertambah rindu dan ia berkata pada ayahandanya, “Duhai ayahanda, hidupku serasa tiada guna bila tidak dapat betemu dan menjadi satu dengan pendeta muda itu. Aku ingin menyusul sendiri ke tempatnya di Jawa”. Sang raja kebingungan sekali, bila tidak dituruti kemauan putrinya, ia khawatir sang putri akan semakin bersedih. Kemudian raja memanggil sang patih, “Hai patih, engkau iringilah putriku Ong Tien bertolak ke tempatnya di Jawa, bawalah seorang pembantumu, wadyabala 1.500 orang dan tiga kapal, isilah guci, panjang, kong, jembangan, uang dan bekal sebanyak mungkin untuk perjalanan nanti. Kelak kalau sudah bertemu dengan pendeta muda itu dimohon pulang ke Negara Tartar, lima Negara bagian akan aku berikan padanya, sungguh jangan sampai tidak terbawa dan barang-barang di dalam  dua kapal dan orang-orang sekapal itu berikanlah kepada pendeta muda. Kalau putriku betah tinggal di Jawa, supaya diserahkan tetap bermukim di sana untuk mengabdi pada pendeta muda”. Sang patih mengucap sandika dan mengantar putri Ong Tien beserta rombongan menuju Cirebon di pulau Jawa sebagai tempat asal Jeng Maulana.



15.      PATIH KELING BERSAMA BAWAHANNYA MEMELUK ISLAM

Diceritakan, Patih Keling dan rombongannya berjumlah 99 orang sedang mengadakan upacara tradisi merubung jenazah rajanya di atas kapal layar di tengah laut. Tidak lama kemudian datanglah Jeng Maulana Insankamil di hadapan mereka. Bertanyalah Jeng Maulana, “Ada apakah ini jenazah orang dirubung dijaga-jaga? Sebaiknya kamu sekalian masuk agama Islam”. Orang-orang Keling tersinggung karenanya dan marah, mata mereka mendelik, mereka tiga-tiba menyerang Jeng Maulana. Oleh karena kramatnya Jeng Maulana, orang-orang Keling satu persatu roboh tidak bergerak. Segera orang-orang Keling mohon ampun dan sembuh seperti sedia kala. Jeng Maulana memberi wejangan syahadat agama Islam, orang-orang Keling lalu waluya lagi/sembuh seperti semula. Ki Patih Keling dan rombongannya lalu mengabdi, dan mereka mengiring Jeng Maulana terus berlayar menuju Cirebon.
Sri Mangana (Pangeran Cakrabuana/ Ki Kuwu Cirebon) telah membangun pesanggrahan/petamanan di gunung Sembung untuk sang keponakan (Syarif Hidayatullah/ Jeng Maulana Insankamil). Beberapa lama kemudian, datanglah sang keponakan sudah di hadapannya dengan diiring oleh Ki Patih Keling dan rombongannya. Sri Mangana bergembira sekali. Beberapa hari kemudian Ki Kuwu berkata, “Wahai putraku Insankamil, sekarang seyogyanya jadi Imam menyiarkan agama Islam, Rama menyerahkan kraton Pakungwati di tanah Cirebon serakyatnya dan Rama menyediakan pesanggrahan di gunung Sembung”. Jeng Maulana menjawab, “Terima kasih atas sih pemberian Pak De, pada waktu sekarang belum dapat menerima Negara, karena belum mempunyai karya, namun gunung Sembung saya terima untuk pemukiman orang-orang Keling”. Ki Kuwu menyetujui. Segera Jeng Maulana dan orang-orang Keling beberes dan bermukim di pesanggrahan gunung Sembung.



15.      CIREBON DISERAHKAN KEPADA JENG MAULANA INSANKAMIL

Syahdan pada suatu hari para murid sedang berkumpul, Pangeran Panjunan, Pangeran Kejaksan, Syekh Datuk Khafid, Syekh Majagung, Syekh Lemahabang, Syekh Bentong, Syekh Maghrib, dan para gegedeng/gegedug sudah menghadap Ki Kuwu Cirebon. Ki Kuwu berkata, “Sekarang Rama memasyhrahkan putri Rama yang bernama Ratna Pakungwati beserta kratonnya berikut seluruh wilayah Cirebon yang Rama babakyasa/ bangun, terimalah semuanya, semoga putra menjabat sebagai Nata/ Raja Cirebon memangku kraton Pakungwati”. Jeng Maulana menerimanya menurut kehendak uwak/ Pakde- nya. Berkata Pangeran Panjunan,” Pula si Raka (kakak) menyerahkan adik Siti Baghdad serombongannya berikut Dukuh Panjunan serakyatnya, hanya semoga rakyat Panjunan diberi tanah untuk penghidupannya (tanah liat untuk membuat keramik) seturunannya, oleh karena Raka hendak pergi bertapa”. Syekh Datuk Khafid dan Pangeran Kejaksan juga menyerahkan para penganutnya. Jeng Maulana pun menerimanya.
Ki Kuwu berkata, “Putra semoga memasuki kraton Pakungwati dan besok hari dinobatkan”. Jeng Maulana menyetujuinya. Esok harinya, dari gunung Jati Jeng Maulana diiringi oleh segenap para murid, para Syekh, para Pangeran dan para gegedeng bertolak ke kraton Pakungwati, datang sudah di dalam kraton. Ki Kuwu bergembira sekali menyelenggarakan hidangan kehormatan, dan malam Jumat Jeng Maulana dinikahkan dengan putri Ki Kuwu yang bernama Ratna Pakungwati. Jeng Maulana Insankamil sebakdanya nikah pada waktu tengah malam pergi ke gunung Jati untuk melaksanakan shalat hajat empat raka’at semoga keridhoan oleh Allah SWT menjadi Nata/ Raja, mohon terus langsung seketurunannya, dan ridhonya bumi sukanya Negara. Sebakdanya shalat lalu datang seekor naga yang lebih besar sekali, membelit melata mohon diterima mengabdi.
Jeng Maulana mengetahui kemauan naga itu lalu berkata, “Hai sang naga, oleh karena engkau hewan yang besar sekali mengabdi padaku, bagaimana nantinya wadyabala manusia niscaya tidak ada yang berani mendekat”. Sang naga menjawab, “Duhai Gusti, bagaimana kehendak Paduka, karena hamba ingin mengabdi mohon diterima”. Jeng Maulana berkata, “Kalau engkau sungguh-sunguh mau mengabdi, jadilah sebuah keris dapur naga ber-luk Sembilan. Sang naga pun berubah menjadi sebuah keris, dan disebut Kaki Naga Gede. Jeng Maulana lalu pulang ke kraton Pakungwati terus shalat subuh dalam masjid Pajlagrahan. Sebakdanya shalat subuh, di hadapan Sri Mangana, para Wali, para gegedeng dan para wadyabala, Jeng Maulana dinobatkan sebagai kapala Negara Cirebon, antara bakda Jumat mengumumkan kepada khalayak ramai, bahwasanya Jeng Maulana Insankamil menjabat sebagai Yang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panata agama Awliya Allah Kutubijaman Kholifatur Rasulullahu alaihi wassalam pada tahun 1479 M. Patih Keling diangkat menjadi patihnya dengan gelar Dipati Suranenggala/ Dipati Keling, Pepatih Dalem Kanjeng Sinuhun Susuhunan Cirebon.
Jeng Maulana selesai dinobatkan menjadi Yang Sinuhun Susuhunan Cirebon kemudian bermukim di kraton Pakungwati Cirebon. Beberapa hari kemudian membangun tembok keliling kraton. Sejak tahun ini pula Cirebon menghentikan upeti tahunannya kepada Pajajaran dan Rajagaluh. Pada tahun ini pula Wali Sanga Jawadwipa menobatkan Raden Patah sebagai Sultan Demak. Raja Brawijaya Majapahit masih mengakui Demak sebagai Negara bagian Majapahit, namun tidak melakukan tindakan apa-apa.



16.      SUNAN JATI BERTOLAK KE LURAGUNG

Suatu hari Ki Kuwu berkata, “Putraku, lekaslah bertolak ke Luragung menyiarkan agama Islam dan melebarkan wilayah di Luragung. Raja dan rakyatnyanya masih belum Islam”. Jeng Sunan Jati mematuhi perintah sang rama, segera menuju Luragung. Sampailah beliau di kraton Luragung dan bertemu dengan raja. Berkata Jeng Sunan Jati, “Wahai paduka raja, sebaiknya sekarang anutlah agama Islam dan hendaknya rakyat paduka juga”. Sang raja Luragung tertarik dengan pengabaran Sunan Jati tentang Islam, menjadi lebih kasih hatinya. Ia pun memeluk agama Islam dan mengajak seluruh pejabat dan rakyatnya memeluk agama Islam.
Diceritakan, sang putri Cina yang bernama Ong Tien dan Patih beserta rombongannya sudah sampai di pantai Cirebon pada tahun 1481 M. Mereka menanyakan perihal keberadaan Jeng Maulana Insankamil. Penduduk Cirebon menjawab bahwasanya Jeng Maulana sedang berada di Luragung. Segera sang putri dan rombongannya bertolak ke Luragung. Barang-barang mereka yang sudah di darat diterima oleh Patih Keling. Sang Putri akhirnya sampai di Luragung.
Jeng Sunan Jati sedang duduk bersama dengan Gedeng Kemuning. Tidak lama kemudian sampailah putri Ong Tien lalu bertemu dengan Jeng Sunan Jati. Betapa gembiranya sang putri. Sang Patih Cina manyampaikan pesan dari rajanya, agar menerima sang putri dan pemberian dari sang raja. Jeng Sunan Jati pun menerimanya.
Sang Putri telah datang waktunya untuk melahirkan, tidak lama kemudian lalu melahirkan bokor kuningan. Jeng Sunan Jati berkata, “Tidak ada adatnya orang melahirkan bokor, kalau seorang manusia melahirkan tentu keluar bayi manusia”. Saksana/ sekonyong-konyong bokor lenyap, jadi bayi elok warnanya semua merjurit. Sang bayi diberi nama Pangeran Kuningan. Jeng Sunan Jati berkata, “Hai Gedeng Kemuning, aku titipkan anak ini pada anda, peliharalah dengan baik, semua wilayahku yang sudah ada sekarang serahkanlah pada Pangeran Kuningan, yang jadi wakilnya adalah anda, Gedeng Kemuning”. Ki Gedeng Kemuning mengucap sandika. Ia membawa Pangeran Kuningan pulang ke rumahnya. Kebetulan ia mempunyai anak pula yang masih menyusui, karenanya Pangeran Kuningan disusukan bersama anaknya itu dan Pangeran Kuningan dipelihara sebaik-baiknya sesuai amanat Jeng Sunan Jati. Adapun dukuh Ki Gedeng Kemuning sejak itu disebut Kuningan.
Diceritakan, Jeng Sunan Jati sudah pulang di pesanggrahan gunung Sembung. Putri Ong Tien dan rombongannya sudah masuk Islam semua. Jeng Sunan Jati pun menikah dengan putri Ong Tien, yang kemudian berganti nama menjadi Nyi Mas Rarasumanding. Sekian lama kemudian, sang putri wafat. Jeng Sunan Jati lalu bertafakur di gunung Jati.
Suatu hari Nyi Mas Rarakerta yang merupakan putri dari Ki Gedeng Jatimerta sedang berjalan di perkebunan, Jeng Sunan Jati melihatnya. Kelak di kemudian hari menjadikan tumbuh bungnya bambu di tempat itu. Jeng Sunan Jati segera bertolak ke pedesaan, dan pada waktu Ashar mampir di rumah Ki Gedeng Babadan hendak mandi dan berwudlu. Bajunya disangkutkan pada dahan bunga cempaka yang sudah mati meranggas daunnya.
Jeng Sunan Jati sebakdanya mengambil air wudlu lalu bajunya dikenakan kembali, lalu pohon bunga cempaka hidup kembali seperti sediakala, segar dan gemuk. Tidak lama kemudian Nyi Retna Babadan keluar dari rumahnya melihat pepohonan bunganya sudah waluya/ segar kembali seperti semula, karenanya ia bergembira sekali, sambil berkata, “Siapakah orangnya yang telah dapat menghidupsegarkan kembali pepohonan bungaku ini, apabila lelaki aku terima sebagai suami, dan apabila perempuan aku terima sebagai saudara”. Tidak lama kemudian Jeng Sunan Jati keluar setelah shalat Ashar lalu berkata, “Itu pepohonan bunga anda telah hidup segar kembali atas kehendak Allah lantaran oleh bajuku.” Nyi Mas Retna Babadan menepati janjinya, segera ia mengutarakan peristiwa tersebut pada ayahandanya. Ki Gedeng Babadan menikahkan anaknya dengan Jeng Sunan Jati. Beberapa hari lamanya, Jeng Sunan Jati beserta Nyi Mas Retna Babadan pulang ke gunung Sembung.