Right click disabled

22 Sep 2012

Babad Cirebon - oleh PS Sulendraningrat (bagian 6)




22.      PARA PUTRA SINUHUN CIREBON

Diceritakan, Yang Sinuhun Cirebon sudah mempunyai putra yang lahir dari Nyi Mas Kawunganten, yaitu yang pertama adalah Ratu Winaon, Pangeran Muhammad Hasanuddin. Yang lahir dari Nyi Mas Rarakerta adalah Pangeran Jayalelana. Yang lahir dari Kanjeng Ratu Pakungwati adalah Ratu Ayu, Pangeran Dipati Muhammad Arifin lahir di liang lahat (karena ibunya meninggal sebelum melahirkannya).
Suatu hari Sunan Kalijaga sedang merantau, tiba di kebun Kalijaga bertemu dengan Jeng Sunan Jati. Sunan Kalijaga tertawa menyambut Jeng Sunan Jati dan menyungkeminya. Jeng Sunan Jati berkata sambil senyum, “Rayi/adik Kalijaga bagaimana hasil yang dimaksud sudah berhasil atau belum, akan tetapi Rayi bercahaya awungwung (seperti cahaya pelangi) laksana pangrasuknya/akibat ilmu sejati”. Sunan Kalijaga menjawab, “Sungguh betul perkataan Paduka, sungguh Paduka itu Wali Kutub, mengetahui jalannya kemuliaan, hamba lebih setia tuhu menghadap kepada Paduka dan hamba mohon izin hendak bermukim di tempat kebun Kalijaga ini”. Jeng Sunan Jati meluluskannya.
Raden Seҫa/Lokajaya/Sunan Kalijaga membuka perkebunan dan melakukan kelakuan Jaya Sampurna, yaitu mandi malam setiap waktu sepertiganya malam. Sunan Kalijaga begitu termashur, tetangga desa banyak yang anut, Ki Kotim adalah murid yang pertama.
Antara beberapa hari, Sunan Kalijaga menghadap kepada Sunan Cirebon, datang sudah di hadapannya. Berkata Jeng Sunan, “Ada keperluan apa, Rayi Sunan Kalijaga?” Berkata Sunan Kalijaga, “Mohon diterangkan artinya mimpi, tadi malam hamba bermimpi memanggil bulan”. Jeng Sunan Jati mengetahui kehendaknya, segera berkata, “Rayi/adik itu akan mendapat jodoh putriku yaitu Ratna Winaon, putriku pasti berjodoh dengan Rayi, dan Jum’ah depan akan dinikahkan”. Sunan Kalijaga menyetujuinya. Setelah nikah, Sunan Kalijaga lalu menjabat sebagai Wakil Imam.



23.      DUKUH DEMAK

Di pesanggrahan Ampeldenta/Ampelgading, Jeng Sinuhun Ampel sedang diseba. Seluruh murid, para kerabat dan putra, juga Kanjeng Sultan Palembang Aryadila, dan Pangeran Patah menghadap seperti ada keperluan yang penting. Jeng Sultan Palembang berkata, “Mohon berembugnya, bagaimana karena Rama Prabu Brawijaya belum Islam, dirasakan tidak enak dalam hati”. Jeng Sunan Ampel berkata, “Betul, Rama anda itu masih belum Islam, camkanlah jangan dulu diganggu sebelum aku sirna meninggal, sebab sudah pasti Pangeran Patah yang akan menggantikan kedudukan ayahandanya. Sang Raja Brawijaya, yang kelak akan mengkurat/memangku setanah Jawa sebelah Timur tanah Sunda, akan tetapi sekarang babakyasa terlebih dahulu, bangunlah sebuah dukuh/pemukiman, carilah tanah yang ada rawa harumnya, disana bangunlah yasa/karya. Nanti kalau sudah diluluti/disenangi oleh para Wali barulah apa yang dikehendaki, aku lebih percaya.
Sultan Palembang Aryadila dan Pangeran Patah patuh pada nasehatnya Rama Guru. Segera mohon pamit hendak mencari tanah rawa harum, meneruskan perjalanannya diiring bala tentara Palembang dua ratus orang. Beberapa bulan kemudian tanah rawa harum telah ditemukan. Segera Pangeran Patah membangun dukuh/pemukiman. Ayadila mendirikan pesantren. Tetangga desanya pada anut, kemudian dukuh/pemukiman itu termashur disebut dengan pedukuhan Demak (dari tanah “demek”/berair). Kemudian seterusnya dengan keputusan Prabu Majapahit, dukuh Demak masuk dalam kawasan negara Majapahit pada tahun 1475 M.



24.      LAKU LAMPAH SUNAN JATI CIREBON
  (ASAL USUL DAERAH SANGKANURIP)

Pada suatu hari Ki Gedeng Penderesan yang sedang memahat lahang/tuak, sedang getak-getok sambil bersenandung, tidak lama kemudian datanglah Sunan Jati. Berkata Jeng Sunan Jati, “Hai Gedeng Penderesan, anda sedang membaca doa apa sedemikian nyaringnya, lebih baik kita saling tukar, aku punya doa yang lebih bagus dan tidak usah dengan suara nyaring lagi, kalau tidak percaya cobalah terlebih dahulu”. Berkata Ki Gedeng Penderesan, “Ini orang lebih ngerekel (seenaknya sendiri saja), ada doa pemahat mau ditukar, coba berilah aku pelajaran terlebih dahulu, kalau sekiranya bagus kepada lahang, saya akan meneruskannya”. Jeng Sunan segera memberi wejangan dua kalimah Syahadat. Ki Gedeng sudah menerimanya, lalu mencobanya, segera lahang menjadi berhenti setetespun tidak keluar. Ki Gedeng segera berkata, “Ini orang membohongi jadi mematikan pangan, engkau orang apa, buruk sekali hatinya, dan engkau orang mana?” Berkata Jeng Sunan Jati, “Aku orang Cirebon membuat keuntungan pada engkau, tapi engkau belum menerimanya”. Ki Gedeng menjawab, “Untung dari mana, lahang jadi berhenti menetes, sekarang aku minta ganti rugi harganya yang selodong/seruas bambu adalah sebaru (35 sen)”. Berkata Jeng Sunan, “Gedeng Penderesan, itu wataknya doa tadi lihatlah dalam ruas bambunya ada lebih dari harga se-real­”. Bungbung/bambu segera dilihat oleh Gedeng Penderesan, ternyata isinya penuh dengan pasir emas. Ki Gedeng segera sujud menyungkemi Jeng Sunan, lalu pulang menghormati Jeng Sunan dengan tumpeng panggang ayam. Jeng Sunan lalu memegang panggang ayam, saksana/sekonyong-konyong panggang ayam itu hidup lagi lalu terbang ke kandangnya. Berkata Jeng Sunan, “Sangkan-sangkan lantaran terjadi ayam mengeram bisa bidup kembali, sekarang engkau aku alih namanya menjadi Gedeng Sangkanurip”.
Jeng Sunan kemudian berlalu dari situ, dan sejak itu Ki Gedeng Penderesan disebut Gedeng Sangkanurip. Ki Gedeng segera menyusul hendak bermaksud bakti dengan sangkaannya mungkin ini orangnya yang bernama Sunan Jati.
Jeng Sunan Jati sedang beristirahat, tidak lama kemudian datanglah Gedeng Sangkanurip sujud meraba-raba sambil berkata, “Duhai Gusti lebih bijaksana hamba mohon ampun dan ingin berguru, mohon sih kemurahan Dalem”. Lalu Jeng Sunan pulang ke Cirebon, Ki Gedeng mengiring beliau, datang sudah di kraton Pakungwati. Seterusnya Ki Gedeng Sangkanurip sudah memeluk agama Islam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar