22.
PARA PUTRA SINUHUN CIREBON
Diceritakan,
Yang Sinuhun Cirebon sudah mempunyai putra yang lahir dari Nyi Mas Kawunganten,
yaitu yang pertama adalah Ratu Winaon,
Pangeran Muhammad Hasanuddin. Yang lahir dari Nyi Mas Rarakerta adalah Pangeran Jayalelana. Yang lahir dari
Kanjeng Ratu Pakungwati adalah Ratu Ayu,
Pangeran Dipati Muhammad Arifin lahir di liang lahat (karena ibunya
meninggal sebelum melahirkannya).
Suatu hari
Sunan Kalijaga sedang merantau, tiba di kebun Kalijaga bertemu dengan Jeng
Sunan Jati. Sunan Kalijaga tertawa menyambut Jeng Sunan Jati dan
menyungkeminya. Jeng Sunan Jati berkata sambil senyum, “Rayi/adik Kalijaga
bagaimana hasil yang dimaksud sudah berhasil atau belum, akan tetapi Rayi
bercahaya awungwung (seperti cahaya
pelangi) laksana pangrasuknya/akibat
ilmu sejati”. Sunan Kalijaga menjawab, “Sungguh betul perkataan Paduka, sungguh
Paduka itu Wali Kutub, mengetahui jalannya kemuliaan, hamba lebih setia tuhu menghadap kepada Paduka dan
hamba mohon izin hendak bermukim di tempat kebun Kalijaga ini”. Jeng Sunan Jati
meluluskannya.
Raden Seҫa/Lokajaya/Sunan Kalijaga membuka perkebunan
dan melakukan kelakuan Jaya Sampurna,
yaitu mandi malam setiap waktu sepertiganya malam. Sunan Kalijaga begitu
termashur, tetangga desa banyak yang anut, Ki
Kotim adalah murid yang pertama.
Antara beberapa hari, Sunan Kalijaga
menghadap kepada Sunan Cirebon, datang sudah di hadapannya. Berkata Jeng Sunan,
“Ada keperluan apa, Rayi Sunan Kalijaga?” Berkata Sunan Kalijaga, “Mohon
diterangkan artinya mimpi, tadi malam hamba bermimpi memanggil bulan”. Jeng
Sunan Jati mengetahui kehendaknya, segera berkata, “Rayi/adik itu akan mendapat
jodoh putriku yaitu Ratna Winaon, putriku pasti berjodoh dengan Rayi, dan
Jum’ah depan akan dinikahkan”. Sunan Kalijaga menyetujuinya. Setelah nikah,
Sunan Kalijaga lalu menjabat sebagai Wakil Imam.
23.
DUKUH DEMAK
Di pesanggrahan
Ampeldenta/Ampelgading, Jeng Sinuhun Ampel sedang diseba. Seluruh murid, para kerabat dan putra, juga Kanjeng Sultan Palembang Aryadila, dan Pangeran Patah menghadap seperti ada
keperluan yang penting. Jeng Sultan Palembang berkata, “Mohon berembugnya, bagaimana
karena Rama Prabu Brawijaya belum
Islam, dirasakan tidak enak dalam hati”. Jeng Sunan Ampel berkata, “Betul, Rama
anda itu masih belum Islam, camkanlah jangan dulu diganggu sebelum aku sirna
meninggal, sebab sudah pasti Pangeran Patah yang akan menggantikan kedudukan
ayahandanya. Sang Raja Brawijaya, yang kelak akan mengkurat/memangku setanah Jawa sebelah Timur tanah Sunda, akan
tetapi sekarang babakyasa terlebih
dahulu, bangunlah sebuah dukuh/pemukiman, carilah tanah yang ada rawa harumnya,
disana bangunlah yasa/karya. Nanti
kalau sudah diluluti/disenangi oleh
para Wali barulah apa yang dikehendaki, aku lebih percaya.
Sultan
Palembang Aryadila dan Pangeran Patah patuh pada nasehatnya Rama Guru. Segera
mohon pamit hendak mencari tanah rawa harum, meneruskan perjalanannya diiring
bala tentara Palembang dua ratus orang. Beberapa bulan kemudian tanah rawa
harum telah ditemukan. Segera Pangeran Patah membangun dukuh/pemukiman. Ayadila
mendirikan pesantren. Tetangga desanya pada anut, kemudian dukuh/pemukiman itu
termashur disebut dengan pedukuhan Demak
(dari tanah “demek”/berair).
Kemudian seterusnya dengan keputusan Prabu Majapahit, dukuh Demak masuk dalam
kawasan negara Majapahit pada tahun 1475
M.
24.
LAKU LAMPAH SUNAN JATI CIREBON
(ASAL USUL DAERAH SANGKANURIP)
Pada suatu
hari Ki Gedeng Penderesan yang
sedang memahat lahang/tuak, sedang
getak-getok sambil bersenandung, tidak lama kemudian datanglah Sunan Jati.
Berkata Jeng Sunan Jati, “Hai Gedeng Penderesan, anda sedang membaca doa apa
sedemikian nyaringnya, lebih baik kita saling tukar, aku punya doa yang lebih
bagus dan tidak usah dengan suara nyaring lagi, kalau tidak percaya cobalah
terlebih dahulu”. Berkata Ki Gedeng Penderesan, “Ini orang lebih ngerekel (seenaknya sendiri saja), ada
doa pemahat mau ditukar, coba berilah aku pelajaran terlebih dahulu, kalau
sekiranya bagus kepada lahang, saya akan meneruskannya”. Jeng Sunan segera
memberi wejangan dua kalimah Syahadat. Ki Gedeng sudah menerimanya, lalu
mencobanya, segera lahang menjadi berhenti setetespun tidak keluar. Ki Gedeng
segera berkata, “Ini orang membohongi jadi mematikan pangan, engkau orang apa,
buruk sekali hatinya, dan engkau orang mana?” Berkata Jeng Sunan Jati, “Aku orang
Cirebon membuat keuntungan pada engkau, tapi engkau belum menerimanya”. Ki
Gedeng menjawab, “Untung dari mana, lahang jadi berhenti menetes, sekarang aku
minta ganti rugi harganya yang selodong/seruas
bambu adalah sebaru (35 sen)”. Berkata
Jeng Sunan, “Gedeng Penderesan, itu wataknya doa tadi lihatlah dalam ruas
bambunya ada lebih dari harga se-real”.
Bungbung/bambu segera dilihat oleh Gedeng Penderesan, ternyata isinya penuh
dengan pasir emas. Ki Gedeng segera sujud menyungkemi Jeng Sunan, lalu pulang
menghormati Jeng Sunan dengan tumpeng panggang ayam. Jeng Sunan lalu memegang
panggang ayam, saksana/sekonyong-konyong
panggang ayam itu hidup lagi lalu terbang ke kandangnya. Berkata Jeng Sunan, “Sangkan-sangkan lantaran terjadi ayam
mengeram bisa bidup kembali, sekarang engkau aku alih namanya menjadi Gedeng Sangkanurip”.
Jeng Sunan
kemudian berlalu dari situ, dan sejak itu Ki Gedeng Penderesan disebut Gedeng
Sangkanurip. Ki Gedeng segera menyusul hendak bermaksud bakti dengan
sangkaannya mungkin ini orangnya yang bernama Sunan Jati.
Jeng Sunan
Jati sedang beristirahat, tidak lama kemudian datanglah Gedeng Sangkanurip
sujud meraba-raba sambil berkata, “Duhai Gusti lebih bijaksana hamba mohon
ampun dan ingin berguru, mohon sih
kemurahan Dalem”. Lalu Jeng Sunan pulang ke Cirebon, Ki Gedeng mengiring
beliau, datang sudah di kraton Pakungwati. Seterusnya Ki Gedeng Sangkanurip
sudah memeluk agama Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar