Right click disabled

20 Sep 2012

Babad Cirebon - oleh PS Sulendraningrat (bagian 5)



 
18.      BURAK PAJAJARAN

Pada suatu hari Ki Kuwu Sri Mangana/Cakrabuana manghadap kepada Jeng Sunan Jati. Sunan Jati berkata, “Selamat datang Ratna Uwa (Pakde) dan apa yang dikehendaki?” Berkata Sri Mangana, “Sekarang Jeng Rama Prabu Siliwangi (Sri Raja Dewata Wisesa) sudah mengirim utusan enam puluh orang yang dikepalai oleh Tumenggung Jagabaya untuk meninjau bagaimana keadaan anak cucunya (anak adalah Pangeran Cakrabuana dan Putri Rarasantang, dan cucu adalah Sunan Jati dan Ratumas Pakungwati), namun sekarang Tumenggung Jagabaya dan wadyabala Pajajaran yang enam puluh orang itu sudah memeluk agama Islam, oleh karena itu Sang Rama Prabu sudah waktunya semoga putra mau datang ke Pajajaran untuk mengislamkan Eyang/Kakek dan kerabat-kerabat, oleh karena Eyang sekarang mungkin sudah agak ada condong/sukanya”. Jeng Sunan Jati mematuhi kehendak Sang Rama Uwa, segera Jeng Sunan Jati dan Ki Kuwu Cakrabuana bertolak ke Pajajaran hendak mengislamkan mengganti agama Sanghyang dengan agama Islam.
Diceritakan, di kraton Pajajaran, Sang Prabu Siliwangi dan para istrinya bersiap-siap hendak datang meninjau sang putra Cakrabuana dan sang cucu Insankamil di Cirebon (Ratu Subanglarang/permaisuri Raja Pajajaran/Ibunda Pangeran Cakrabuana sudah wafat). Tidak lama kemudian datang Ki Buyut Talibarat sudah ada di hadapan sang prabu. Sang Prabu berkata, “Eyang Talibarat selamat datang, datangnya tergesa-gesa seperti ada perkara yang penting”. Berkata Ki Buyut Talibarat, “Wahai Paduka Prabu, apa yang dikehendaki dengan takluk pada sang cucu yang hendak menyiarkan agama Islam, sejak dulu hingga sekarang mongmonganku para leluhur yang menganut agama Dasa Mulya, ialah Sastrajendra Ayuningrat yang di-pusti amalkan, apakah sang Prabu silau melihat kepada putra cucu? Nanti kraton ini kutanami pusaka lidi lelaki supaya kraton tidak tertampak, dan sang Prabu haraplah ngahyang sekarang juga, oleh karena sang putra dan sang cucu sebentar lagi datang”.
Sang Prabu mematuhi saran Ki Buyut Talibarat. Segera kraton ditanami pusaka lidi lelaki. Para istri dibawa ngahyang lalu lenyap tanpa bekas. Kraton terlihat jadi hutan besar. Seluruh famili, para putra sentara tidak dibawa, tertinggal di kraton Pajajaran. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1482 M.
Tidak lama kemudian datanglah Jeng Sunan Jati dan Ki Kuwu Cirebon mengetahui bahwa sang Prabu sudah tidak ada dalam kraton. Akan tetapi Jeng Sunan Jati dan Ki Kuwu masih jelas melihat kraton Pajajaran itu sebagai semula lalu masuk ke dalam kraton, menangkapi para penghuninya, yang sebagian sudah bubar. Pangeran Sengara tertangkap dan para sentara, para eyang sudah di-Islamkan. Ada yang tertangkap di angkasa, ada yang tertangkap di dalam bumi. Adapun Arya Kebo Kamale sudah tertangkap akan tetapi tidak mau Islam, berjanji nanti di akhir jaman. Lalu disuruh kemit/jaga di Cirebon. Ki Patih Argatala dan bawahannya pada bersembunyi di pegunungan, Jeng Sunan jati dapat melihat mereka dan berkata, “Patih Argatala sebawahannyaseperti siluman tidak bercampur dengan manusia”. Ki Patih sujud bertobat namun berjanji memeluk Islam di akhir jaman. Jeng Sunan Jati mengampuninya akan tetapi menyuruhnya menjaga Cirebon. Jeng Sunan Jati lalu mendekati Dipati Siput dan bawahannya yang bersembunyi di hutan. Saksama/sekonyong-konyong Dipati Siput berubah menjadi macan putih, dan para bawahannya menjadi macan loreng. Dipati Siput sujud bertobat namun mohon nanti di akhir jaman menganut agama Islam. Berkata Jeng Sunan Jati, “Barangsiapa yang ikut kepada agama tidak diperbolehkan campur dengan manusia, tetapi sebagai hewan atau siluman”. Dipati Siput dan bawahannya diperintahkan untuk menjaga Cirebon.
Lalu Jeng Sunan Jati memasuki kraton Pajajaran lagi, mendekati para pembesar dan para kerabat yang anut agama Islam. Jeng Sunan Jati memanggil sang paman yaitu Raja Sengara dan berkata, “Rama hendaknya mengosongkan kraton Pajajaran. Namun Rama Dalem Cakrabuana sudah bermukim di Cirebon, akan tetapi Rama Raja Sengara jangan berdiam di kraton, oleh karena Eyang Prabu tidak mau Islam, semoga sang Rama mau bermukim di tempat lain, karena kraton Pajajaran sudah pasti menjadi hutan, hanya ini balai tempat duduk sang Rama Prabu saya mohon dibawa ke Cirebon dan alat-alat, pedang, keris, tumbak”. Raja Sengara mematuhi permintaan sang kemenakan.
Diceritakan, masih ada seorang putri perempuan Prabu Siliwangi yang tertinggal bernama Dewi Balilayaran yang mendapat jodoh dengan satria trah/turunan Galuh kuna, kemudian membangun kraton lagi di luar ibukota Pakuan, disebut Sunan Kabuaran. Negaranya meneruskan nama Pajajaran, yang kelak di jaman Prabu Seda negaranya dibubarkan oleh bala tentara Banten Sultan Maulana Yusuf dibantu oleh bala tentara Cirebon Sultan Panembahan Ratu. Prabu Seda wafat pada tahun 1579 M. Seorang putra Sunan Kabuaran yang bernama Dewi Mendapa/ Dewi Tanduran Gagang ialah yang menjadi lantaran kelak ada raja menyelang/menjajah di jaman akhir. Adalah kraton Pakuan Pajajaran setelah ngahyangnya Prabu Siliwangi itu kosong menjadi hutan lebat, tidak ada raja lagi, famili Sunda bubar ke tujuan masing-masing:   

1.   Susun Pajengan bermukim di Kuningan;  
2.   Sunan Manyak bermukim di Traju;
3.      Borosngora bermukim di Panjalu; 
4.      Raden Te’el bermukim di gunung Bandung; 
5.      Raden Lawean bermukim di Pasir Panjang; 
6.      Sanghyang Pandahan bermukim di Ukur, disebut juga Dipati Ukur; 
7.      Sanghyang Kartamana bermukim di Limbangan; 
8.      Sanghyang Sogol  bermukim di Maleber; 
9.      Sanghyang Mayak bermukim di Cilutung; 
10.  Dalem Naya bermukim di Ender; 
11.  Sunan Ranjam bermukim di Cihaur; 
12.  Lumansanjaya bermukim di Sundalarang; 
13.  Prabu Sedanglumu bermukim di Selaherang; 
14.  Sanghyang Jamsana bermukim di Batulayang; 
15.  Sanghyang Tubur bermukim di Panembong; 
16.  Sri Puaciputi bermukim di Kawali;  
17.  Taji Malela bermukim di Sumedang, kahyangan yang menurun kepada menak-menak di Sumedang, di Ciasem, di Cianjur, di Bogor, di Krawang itu semua adalah turunan Taji Malela.




19.      JENG SUNAN JATI DAN KI KUWU CIREBON BERTOLAK KE BANTEN

Jeng Sunan Jati bersama Ki Kuwu lalu bertolak terus ke arah Barat dengan tujuan ke Banten, kemudian bertemu dengan Ki Gedeng Kawunganten. Jeng Sunan Jati berhasil mengislamkan KI Gedeng Kawunganten se-anakcucunya dan serakyatnya juga sudah turut masuk Islam. Syahdan Jeng Sunan Jati berjodoh dengan putri Ki Gedeng Kawunganten yang bernama Dewi Kawunganten, kemudian mereka menikah di Banten. Setelah beberapa lamanya, mereka bertiga pamit pulang dan sampai kembali di pesanggrahan gunung Sembung.



20.      BUNG CIKAL

Pada suatu waktu bertepatan dengan hari Isnain (Senin), Kanjeng Sunan Jati yang sedang berkumpul dengan seluruh murid dan Patih Suranenggala, tidak lama kemudian datanglah Ki Gedeng Jatimerta bersama sang cucu sudah enghadap di hadapan Jeng Sunan Jati. Jeng Sunan Jati berkata, “Wahai Ki Gedeng Jatimerta datang di hadapanku, adakah yang ingin disampaikan?” Ki Gedeng Jatimerta menjawab, “Duhai Gusti, mohon ampunan Dalem, hamba lancang menghadap, oleh karena membawa putra Dalem yang telah lahir dari putri hamba, Rarakerta”. Berkata Jeng Sunan Jati, “Apa sebabnya aku mempunyai putra, karena aku belum pernah menikah dengan Rarakerta”. Ki Gedeng menjawab, “Adapun waktu dulu anak hamba Rarakerta sedang berjalan di perkebunan, ia melihat sampeyan Dalem sedang berdiri, tidak antara lama anakku Rarakerta pulang sambil menangis jatuh cinta kepada sampeyan Dalem. Pada antara hari bekas sampeyan Dalem berdiri, disungkemi oleh Rarakerta siang malam. Antara sebulan lamanya lalu tumbuh bung-nya bambu, lalu bung bambu itu dimakannya. Antara sebulan lamanya kemudian Rarakerta mengandung, dan sesudah datang pada waktunya lalu melahirkan seorang bayi lelaki, ya inilah bayi tersebut yang hamba bawa serta menghadap di hadapan Paduka”.  Jeng Sunan Jati lalu ingat waktu pertama melihat Rarakerta di perkebunan setelah ia bertafakur di gunung Jati. Segera Jeng Sunan Jati berkata, “Ki Gedeng Jatimerta, itu nyatanya anak sir, seyogyanya peliharalah dengan baik. Akan tetapi anak tersebut sekarang tidak dapat waris, wallahu a’lam kelak di akhir jaman, hanya aku memberinya nama Bung Cikal. Namun Rarakerta sekarang aku pinta untuk dijadikan istri”. Ki Gedeng mengucap sandika, lalu Bung Cikal dibawa bertapa. Nyi Mas Rarakerta kemudian menikah dengan Jeng Sunan Jati.



21.      KANJENG SINUHUN CIREBON BERTOLAK KE NEGARA MESIR

Diceritakan Jeng Sinuhun Cirebon (Jeng Sunan Jati) bertolak ke negara Mesir hendak menghadap kepada Ibundanya terus perjalanannya datang sudah di kerajaan Mesir.
Sedangkan di tanah Pasundan di Maleber Babakan Cianjur, Dipati Awangga dan sang adik Dipati Selalarang, putri Dewi Siliwati bersuami dengan Sang Ngewalarang, seorang cucu dari Prabu Siliwangi. Berkata Dipati Awangga, “Adik Selalarang, kakak tadi malam dapat sasmitanya Dewa disuruh pergi ke laut, disuruh mencari udang lelaki perempuan yang sedang beriringan, di situlah akan menemukan lantarannya kemuliaan lagi perwira sakti, adik sekarang tinggallah di sini, tidak akan pulang kalau belum terlaksana”. Segera Dipati Awangga berjalan terus ke laut, siang malam merendam diri mencari udang lelaki perempuan.
Di kerajaan Mesir, Kanjeng Sunan Jati sudah datang duduk sejajar dengan ibundanya, Kanjeng Ratu Syarifah Mudaim dan sang adik Syarif Nurullah. Berkata Jeng Sinuhun, “Semoga Ibu mengetahui di Pajajaran sudah pada masuk Islam, namun Eyang Prabu Siliwangi dan para istri tidak Islam, ngahyang meninggalkan kraton, dan putra sudah dapat jodoh, di antaranya Ong Tien putri Cina, namun tidak lama lalu meninggal, seorang putri Gedeng Babadan, seorang putri Ki Gedeng Kawunganten, putri Rama Uwa Sri Mangana yang bernama Ratu Pakungwati berikut diserahkan kratonnya, seorang putri Ki Gedeng Jatimerta bernama Rarakerta. Sudah empat istri yang ananda nikahi. Pula putra sudah menjabat sebagai Sinuhun di Cirebon diangkat oleh Rama Uwa Cakrabuana. Pula para saudara dari Baghdad telah menyerahkan seluruh pengikutnya dan para gegedeng dan para tetangga negara pada tunduk. Berkah Ibunda di Cirebon dan di Pasundan sudah terselenggara/berlaku agama Islam. Maka daripada itu semoga Ibunda berkehendak bermukim di Cirebon, karena putra senang bermukim di Cirebon. Adapun negara Mesir diserahkan kepada sang adik Nurullah”. Ibundanya menyetujui kehendak sang putra, lalu Jeng Sunan berkata, “Adik Nurullah sekarang tetap menjabat sebagai Sultan, serahlah negara Mesir seketurunannya, yang benar mengurusnya, berdasarkan hadist dalil”. Ibundanya berkata, “Hai Putra Nurullah semoga adil menjadi raja, Ibu hendak bermukim di Cirebon, Cuma Ibu minta sebagai waris kakak Putra, berupa empat macam pusaka, yaitu Pedang jimat shalawat Nabi, Kitab Usulkalam, Destar pusaka dari Rasulullah, dan Ibu minta untuk dibawakan piring-piring panjang dan barang-barang serta 40 orang dan satu buah kapal. Sang Putra mematuhi permintaan Ibunda. Segera sebuah kapal sudah dimuati piring-piring panjang dan barang- barang serta empat puluh orang abdi, lalu berangkat menuju Cirebon. Adapun Kanjeng Sinuhun bersama Kanjeng Ibu menghendaki berjalan di atas air laut.
Diceritakan, Dipati Awangga yang sedang mencari urang/udang lelaki perempuan hingga koyak-koyak pakaiannya untuk berendam di laut, akan tetapi belum berhasil senantiasa kebingungan oleh warnanya. Tidak antara lama kemudian datanglah Kanjeng Ratu Syarifah Mudaim (Rarasantang) sedang berjalan beriringan dengan sang putra Kanjeng Sinuhun di atas air laut. Sungguh terkejut Dipati Awangga melihat mereka berjalan di atas air. Segera ia menegur, “Hai manusia lelaki perempuan, berhentilah terlebih dahulu, kalian apakah sesungguhnya, manusia atau jin mrekayangan dan asal kalian dari mana?” Kanjeng Ratu Rarasanatang berkata, “Rarasantang namaku, permaisuri dari Mesir, putri Pajajaran negaranya”. Mendengar jawaban tersebut, Dipati Awangga segera menubruk menyungkemi sambil berkata, “Duhai Ibu, sungguh bahagia bertemu di sini, sesungguhnya hamba adalah putra dari adik Paduka Siliwangi, Dipati Awangga nama hamba, lantarannya putra ada di laut sini, karena kala waktu dulu ada sasmita-nya Dewa menyuruh mencari urang/udang lelaki perempuan yang sedang beriringan, di sanalah lantarannya memperoleh kemuliaan lagi perwira sakti, akan tetapi putra senantiasa kebingungan, karenanya hingga sekarang belum berhasil”. Kanjeng Sunan berkata, “Adik Dipati Awangga supaya menjadi tahu perihal sasmita-nya Dewa yang dimaksud urang/udang lelaki perempuan di atas laut yang sedang beriringan itu nyatanya adalah si kakak sebagai urang/udang lelaki dan Kanjeng Ibu sebagai urang/udang perempuan. Baik sekarang turutlah ke Cirebon bersama mengiring Jeng Ibu”.
Dipati Awangga mematuhi perkataan Kanjeng Sunan, mendadak bisa bersama berjalan di atas air laut. Tidak lama kemudian lalu datanglah sudah di kraton Pakungwati.
Ki Kuwu bergembira sekali, karena sang adik Rarasantang sudah datang. Jeng Sunan kemudian memanggil Dipati Awangga, lalu diwejang dua kalimat syahadat dan agama Islam. Sang Dipati Awangga merasa senang dan suka kepada agama Islam hingga lupa kepada anak istri dan daerahnya. Jeng Sunan berkata, “Adik sebaiknya bermukim di Kuningan mewakili sang putra yaitu Pangeran Kuningan sebagai pejabat adipati”.
Dipati Awangga mematuhi perintah sang kakak. Jeng Dipati lalu mohon pamit terus berjalan datang sudah di Kuningan. Sang Dipati Awangga lebih hati-hati olehnya mewakili dan mengurus para wadyabala dan negara. Kemudian antara sebulan, Dipati Awangga membawa anak istrinya ke Kuningan. Adiknya yaitu Dipati Selalarang juga sudah memeluk agama Islam. Dipati Awangga juga mampu membuat alat-alat keris, pedang, tombak dan baris upacara.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar