18.
BURAK PAJAJARAN
Pada suatu
hari Ki Kuwu Sri Mangana/Cakrabuana manghadap kepada Jeng Sunan Jati. Sunan Jati berkata,
“Selamat datang Ratna Uwa (Pakde) dan apa yang dikehendaki?” Berkata Sri
Mangana, “Sekarang Jeng Rama Prabu Siliwangi (Sri Raja Dewata Wisesa) sudah
mengirim utusan enam puluh orang yang dikepalai oleh Tumenggung Jagabaya untuk meninjau bagaimana keadaan anak cucunya
(anak adalah Pangeran Cakrabuana dan Putri Rarasantang, dan cucu adalah Sunan
Jati dan Ratumas Pakungwati), namun sekarang Tumenggung Jagabaya dan wadyabala
Pajajaran yang enam puluh orang itu sudah memeluk agama Islam, oleh karena itu
Sang Rama Prabu sudah waktunya semoga putra mau datang ke Pajajaran untuk
mengislamkan Eyang/Kakek dan kerabat-kerabat, oleh karena Eyang sekarang
mungkin sudah agak ada condong/sukanya”. Jeng Sunan Jati mematuhi kehendak Sang
Rama Uwa, segera Jeng Sunan Jati dan Ki Kuwu Cakrabuana bertolak ke Pajajaran
hendak mengislamkan mengganti agama Sanghyang dengan agama Islam.
Diceritakan,
di kraton Pajajaran, Sang Prabu Siliwangi dan para istrinya bersiap-siap hendak
datang meninjau sang putra Cakrabuana dan sang cucu Insankamil di Cirebon (Ratu
Subanglarang/permaisuri Raja Pajajaran/Ibunda Pangeran Cakrabuana sudah wafat).
Tidak lama kemudian datang Ki Buyut
Talibarat sudah ada di hadapan sang prabu. Sang Prabu berkata, “Eyang
Talibarat selamat datang, datangnya tergesa-gesa seperti ada perkara yang
penting”. Berkata Ki Buyut Talibarat, “Wahai Paduka Prabu, apa yang dikehendaki
dengan takluk pada sang cucu yang hendak menyiarkan agama Islam, sejak dulu
hingga sekarang mongmonganku para
leluhur yang menganut agama Dasa Mulya, ialah Sastrajendra Ayuningrat yang di-pusti amalkan, apakah sang Prabu silau
melihat kepada putra cucu? Nanti kraton ini kutanami pusaka lidi lelaki supaya kraton tidak
tertampak, dan sang Prabu haraplah ngahyang
sekarang juga, oleh karena sang putra dan sang cucu sebentar lagi datang”.
Sang Prabu
mematuhi saran Ki Buyut Talibarat. Segera kraton ditanami pusaka lidi lelaki. Para
istri dibawa ngahyang lalu lenyap
tanpa bekas. Kraton terlihat jadi hutan besar. Seluruh famili, para putra
sentara tidak dibawa, tertinggal di kraton Pajajaran. Peristiwa ini terjadi
pada tahun 1482 M.
Tidak lama
kemudian datanglah Jeng Sunan Jati dan Ki Kuwu Cirebon mengetahui bahwa sang
Prabu sudah tidak ada dalam kraton. Akan tetapi Jeng Sunan Jati dan Ki Kuwu
masih jelas melihat kraton Pajajaran itu sebagai semula lalu masuk ke dalam
kraton, menangkapi para penghuninya, yang sebagian sudah bubar. Pangeran Sengara tertangkap dan para
sentara, para eyang sudah di-Islamkan. Ada yang tertangkap di angkasa, ada yang
tertangkap di dalam bumi. Adapun Arya
Kebo Kamale sudah tertangkap akan tetapi tidak mau Islam, berjanji nanti di
akhir jaman. Lalu disuruh kemit/jaga
di Cirebon. Ki Patih Argatala dan bawahannya pada bersembunyi di pegunungan,
Jeng Sunan jati dapat melihat mereka dan berkata, “Patih Argatala
sebawahannyaseperti siluman tidak bercampur dengan manusia”. Ki Patih sujud
bertobat namun berjanji memeluk Islam di akhir jaman. Jeng Sunan Jati
mengampuninya akan tetapi menyuruhnya menjaga Cirebon. Jeng Sunan Jati lalu
mendekati Dipati Siput dan bawahannya yang bersembunyi di hutan. Saksama/sekonyong-konyong Dipati Siput
berubah menjadi macan putih, dan para bawahannya menjadi macan loreng. Dipati
Siput sujud bertobat namun mohon nanti di akhir jaman menganut agama Islam.
Berkata Jeng Sunan Jati, “Barangsiapa yang ikut kepada agama tidak
diperbolehkan campur dengan manusia, tetapi sebagai hewan atau siluman”. Dipati
Siput dan bawahannya diperintahkan untuk menjaga Cirebon.
Lalu Jeng
Sunan Jati memasuki kraton Pajajaran lagi, mendekati para pembesar dan para
kerabat yang anut agama Islam. Jeng Sunan Jati memanggil sang paman yaitu Raja
Sengara dan berkata, “Rama hendaknya mengosongkan kraton Pajajaran. Namun Rama
Dalem Cakrabuana sudah bermukim di Cirebon, akan tetapi Rama Raja Sengara
jangan berdiam di kraton, oleh karena Eyang Prabu tidak mau Islam, semoga sang
Rama mau bermukim di tempat lain, karena kraton Pajajaran sudah pasti menjadi
hutan, hanya ini balai tempat duduk sang Rama Prabu saya mohon dibawa ke
Cirebon dan alat-alat, pedang, keris, tumbak”. Raja Sengara mematuhi permintaan
sang kemenakan.
Diceritakan,
masih ada seorang putri perempuan Prabu Siliwangi yang tertinggal bernama Dewi Balilayaran yang mendapat jodoh
dengan satria trah/turunan Galuh kuna, kemudian membangun kraton lagi di
luar ibukota Pakuan, disebut Sunan
Kabuaran. Negaranya meneruskan nama Pajajaran, yang kelak di jaman Prabu Seda negaranya dibubarkan oleh
bala tentara Banten Sultan Maulana Yusuf
dibantu oleh bala tentara Cirebon Sultan
Panembahan Ratu. Prabu Seda wafat
pada tahun 1579 M. Seorang putra
Sunan Kabuaran yang bernama Dewi
Mendapa/ Dewi Tanduran Gagang ialah yang menjadi lantaran kelak ada raja menyelang/menjajah
di jaman akhir. Adalah kraton Pakuan Pajajaran setelah ngahyangnya Prabu Siliwangi itu kosong menjadi hutan lebat, tidak
ada raja lagi, famili Sunda bubar ke tujuan masing-masing:
1. Susun Pajengan bermukim
di Kuningan;
2. Sunan Manyak bermukim
di Traju;
3. Borosngora bermukim
di Panjalu; 4. Raden Te’el bermukim di gunung Bandung;
5. Raden Lawean bermukim di Pasir Panjang;
6. Sanghyang Pandahan bermukim di Ukur, disebut juga Dipati Ukur;
7. Sanghyang Kartamana bermukim di Limbangan;
8. Sanghyang Sogol bermukim di Maleber;
9. Sanghyang Mayak bermukim di Cilutung;
10. Dalem Naya bermukim di Ender;
11. Sunan Ranjam bermukim di Cihaur;
12. Lumansanjaya bermukim di Sundalarang;
13. Prabu Sedanglumu bermukim di Selaherang;
14. Sanghyang Jamsana bermukim di Batulayang;
15. Sanghyang Tubur bermukim di Panembong;
16. Sri Puaciputi bermukim di Kawali;
17. Taji Malela bermukim di Sumedang, kahyangan yang menurun kepada menak-menak di Sumedang, di Ciasem, di Cianjur, di Bogor, di Krawang itu semua adalah turunan Taji Malela.
19.
JENG SUNAN JATI DAN KI KUWU CIREBON
BERTOLAK KE BANTEN
Jeng Sunan
Jati bersama Ki Kuwu lalu bertolak terus ke arah Barat dengan tujuan ke Banten,
kemudian bertemu dengan Ki Gedeng
Kawunganten. Jeng Sunan Jati berhasil mengislamkan KI Gedeng Kawunganten
se-anakcucunya dan serakyatnya juga sudah turut masuk Islam. Syahdan Jeng Sunan
Jati berjodoh dengan putri Ki Gedeng Kawunganten yang bernama Dewi Kawunganten, kemudian mereka
menikah di Banten. Setelah beberapa lamanya, mereka bertiga pamit pulang dan
sampai kembali di pesanggrahan gunung Sembung.
20.
BUNG CIKAL
Pada suatu
waktu bertepatan dengan hari Isnain (Senin), Kanjeng Sunan Jati yang sedang
berkumpul dengan seluruh murid dan Patih Suranenggala, tidak lama kemudian
datanglah Ki Gedeng Jatimerta bersama sang cucu sudah enghadap di hadapan Jeng
Sunan Jati. Jeng Sunan Jati berkata, “Wahai Ki Gedeng Jatimerta datang di
hadapanku, adakah yang ingin disampaikan?” Ki Gedeng Jatimerta menjawab, “Duhai
Gusti, mohon ampunan Dalem, hamba lancang menghadap, oleh karena membawa putra
Dalem yang telah lahir dari putri hamba, Rarakerta”. Berkata Jeng Sunan Jati, “Apa
sebabnya aku mempunyai putra, karena aku belum pernah menikah dengan
Rarakerta”. Ki Gedeng menjawab, “Adapun waktu dulu anak hamba Rarakerta sedang
berjalan di perkebunan, ia melihat sampeyan
Dalem sedang berdiri, tidak antara lama anakku Rarakerta pulang sambil menangis
jatuh cinta kepada sampeyan Dalem. Pada antara hari bekas sampeyan Dalem
berdiri, disungkemi oleh Rarakerta siang
malam. Antara sebulan lamanya lalu tumbuh bung-nya bambu, lalu bung bambu itu dimakannya. Antara sebulan lamanya
kemudian Rarakerta mengandung, dan sesudah datang pada waktunya lalu melahirkan
seorang bayi lelaki, ya inilah bayi tersebut yang hamba bawa serta menghadap di
hadapan Paduka”. Jeng Sunan Jati lalu
ingat waktu pertama melihat Rarakerta di perkebunan setelah ia bertafakur di
gunung Jati. Segera Jeng Sunan Jati berkata, “Ki Gedeng Jatimerta, itu nyatanya
anak sir, seyogyanya peliharalah
dengan baik. Akan tetapi anak tersebut sekarang tidak dapat waris, wallahu
a’lam kelak di akhir jaman, hanya aku memberinya nama Bung Cikal. Namun Rarakerta sekarang aku pinta untuk dijadikan
istri”. Ki Gedeng mengucap sandika, lalu Bung Cikal dibawa bertapa. Nyi Mas
Rarakerta kemudian menikah dengan Jeng Sunan Jati.
21.
KANJENG SINUHUN CIREBON BERTOLAK KE
NEGARA MESIR
Diceritakan Jeng
Sinuhun Cirebon (Jeng Sunan Jati) bertolak ke negara Mesir hendak menghadap
kepada Ibundanya terus perjalanannya datang sudah di kerajaan Mesir.
Sedangkan di tanah Pasundan di Maleber Babakan
Cianjur, Dipati Awangga dan sang
adik Dipati Selalarang, putri Dewi Siliwati bersuami dengan Sang Ngewalarang, seorang cucu dari
Prabu Siliwangi. Berkata Dipati Awangga, “Adik Selalarang, kakak tadi malam
dapat sasmitanya Dewa disuruh pergi
ke laut, disuruh mencari udang lelaki perempuan yang sedang beriringan, di
situlah akan menemukan lantarannya kemuliaan lagi perwira sakti, adik sekarang
tinggallah di sini, tidak akan pulang kalau belum terlaksana”. Segera Dipati
Awangga berjalan terus ke laut, siang malam merendam diri mencari udang lelaki
perempuan.
Di kerajaan Mesir, Kanjeng Sunan Jati sudah datang
duduk sejajar dengan ibundanya, Kanjeng Ratu Syarifah Mudaim dan sang adik
Syarif Nurullah. Berkata Jeng Sinuhun, “Semoga Ibu mengetahui di Pajajaran
sudah pada masuk Islam, namun Eyang Prabu Siliwangi dan para istri tidak Islam,
ngahyang meninggalkan kraton, dan
putra sudah dapat jodoh, di antaranya Ong Tien putri Cina, namun tidak lama
lalu meninggal, seorang putri Gedeng Babadan, seorang putri Ki Gedeng
Kawunganten, putri Rama Uwa Sri Mangana yang bernama Ratu Pakungwati berikut
diserahkan kratonnya, seorang putri Ki Gedeng Jatimerta bernama Rarakerta.
Sudah empat istri yang ananda nikahi. Pula putra sudah menjabat sebagai Sinuhun
di Cirebon diangkat oleh Rama Uwa Cakrabuana. Pula para saudara dari Baghdad
telah menyerahkan seluruh pengikutnya dan para gegedeng dan para tetangga
negara pada tunduk. Berkah Ibunda di Cirebon dan di Pasundan sudah terselenggara/berlaku
agama Islam. Maka daripada itu semoga Ibunda berkehendak bermukim di Cirebon,
karena putra senang bermukim di Cirebon. Adapun negara Mesir diserahkan kepada
sang adik Nurullah”. Ibundanya menyetujui kehendak sang putra, lalu Jeng Sunan
berkata, “Adik Nurullah sekarang tetap menjabat sebagai Sultan, serahlah negara
Mesir seketurunannya, yang benar mengurusnya, berdasarkan hadist dalil”.
Ibundanya berkata, “Hai Putra Nurullah semoga adil menjadi raja, Ibu hendak
bermukim di Cirebon, Cuma Ibu minta sebagai waris kakak Putra, berupa empat
macam pusaka, yaitu Pedang jimat shalawat Nabi, Kitab Usulkalam, Destar pusaka
dari Rasulullah, dan Ibu minta untuk dibawakan piring-piring panjang dan
barang-barang serta 40 orang dan satu buah kapal. Sang Putra mematuhi
permintaan Ibunda. Segera sebuah kapal sudah dimuati piring-piring panjang dan
barang- barang serta empat puluh orang abdi, lalu berangkat menuju Cirebon. Adapun
Kanjeng Sinuhun bersama Kanjeng Ibu menghendaki berjalan di atas air laut.
Diceritakan, Dipati Awangga yang sedang mencari urang/udang lelaki perempuan hingga
koyak-koyak pakaiannya untuk berendam di laut, akan tetapi belum berhasil
senantiasa kebingungan oleh warnanya. Tidak antara lama kemudian datanglah
Kanjeng Ratu Syarifah Mudaim (Rarasantang) sedang berjalan beriringan dengan
sang putra Kanjeng Sinuhun di atas air laut. Sungguh terkejut Dipati Awangga
melihat mereka berjalan di atas air. Segera ia menegur, “Hai manusia lelaki
perempuan, berhentilah terlebih dahulu, kalian apakah sesungguhnya, manusia
atau jin mrekayangan dan asal kalian
dari mana?” Kanjeng Ratu Rarasanatang berkata, “Rarasantang namaku, permaisuri
dari Mesir, putri Pajajaran negaranya”. Mendengar jawaban tersebut, Dipati
Awangga segera menubruk menyungkemi sambil berkata, “Duhai Ibu, sungguh bahagia
bertemu di sini, sesungguhnya hamba adalah putra dari adik Paduka Siliwangi,
Dipati Awangga nama hamba, lantarannya putra ada di laut sini, karena kala
waktu dulu ada sasmita-nya Dewa menyuruh mencari urang/udang lelaki perempuan yang sedang beriringan, di sanalah
lantarannya memperoleh kemuliaan lagi perwira sakti, akan tetapi putra
senantiasa kebingungan, karenanya hingga sekarang belum berhasil”. Kanjeng
Sunan berkata, “Adik Dipati Awangga supaya menjadi tahu perihal sasmita-nya
Dewa yang dimaksud urang/udang lelaki
perempuan di atas laut yang sedang beriringan itu nyatanya adalah si kakak
sebagai urang/udang lelaki dan
Kanjeng Ibu sebagai urang/udang
perempuan. Baik sekarang turutlah ke Cirebon bersama mengiring Jeng Ibu”.
Dipati Awangga mematuhi perkataan Kanjeng Sunan,
mendadak bisa bersama berjalan di atas air laut. Tidak lama kemudian lalu
datanglah sudah di kraton Pakungwati.
Ki Kuwu bergembira sekali, karena sang adik
Rarasantang sudah datang. Jeng Sunan kemudian memanggil Dipati Awangga, lalu
diwejang dua kalimat syahadat dan agama Islam. Sang Dipati Awangga merasa
senang dan suka kepada agama Islam hingga lupa kepada anak istri dan daerahnya.
Jeng Sunan berkata, “Adik sebaiknya bermukim di Kuningan mewakili sang putra
yaitu Pangeran Kuningan sebagai pejabat adipati”.
Dipati Awangga mematuhi perintah sang kakak. Jeng
Dipati lalu mohon pamit terus berjalan datang sudah di Kuningan. Sang Dipati
Awangga lebih hati-hati olehnya mewakili dan mengurus para wadyabala dan
negara. Kemudian antara sebulan, Dipati Awangga membawa anak istrinya ke
Kuningan. Adiknya yaitu Dipati Selalarang juga sudah memeluk agama Islam.
Dipati Awangga juga mampu membuat alat-alat keris, pedang, tombak dan baris
upacara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar