6. GUNUNG JATI
Walangsungsang memohon pamit hendak meneruskan mencari agama
Islam menurut syariat Nabi Muhammad SAW.
Sanghyang Luhung/ Sang Bangu berkata, “Hai putra, datanglah ke gunung Jati,
di sana ada seseorang bernama Syekh Nurjati yang berasal dari Mekkah,
yang sedang bertapa tidur dialah yang empunya agama Islam syariat Nabi
Muhammad”.
Walangsungsang segera pamit menuju gunung Jati, kemudian
sampai di hadapan Syekh Nurjati. Sang istri dan sang adik pun menghaturkan
hormat. Ki Syekh Nurjati segera terjaga melihat tiga orang tamu. Sambil senyum
ia berkata, “Hai tiga orang muda di hadapanku dengan memberi hormat, siapakah
kalian, asal kalian dari mana, dan apa keperluan kalian?” Walangsungsang
kemudian berkata, “Nama hamba Walangsungsang, putra Pajajaran yang hendak berguru
agama Islam, bersama adik kandung hamba Rarasantang.
Adapun istri hamba Indangayu
namanya, putri Sanghyang Danuwarsih
dari gunung Maraapi.” Syekh Nurjati pun berkata,”Bagaimana mulanya seorang
putra Raja menghendaki Islam dan mendapat petunjuk dari siapa tentang gunung
Jati?” Walangsungsang kemudian menceritakan keinginan memeluk agama Islam
beserta petualangannya selama mengembara dari awal hingga akhir. Ki Syekh Nurjati
segera member wejangan kepada ketiga anak muda tersebut untuk mengucapkan dua
kalimat Syahadat, sholat lima waktu, sholawat dan dzikir, zakat fitrah,
berpuasa di bulan Romadhon dan menunaikan ibadah haji, kemudian diwejang Al
Qur’an, kitab Fiqih dan Tasawuf. Setelah memberikan wejangan kepada
Walangsungsang, Indangayu, dan Rarasantang, Ki Syekh Nurjati memanggil,
“Walangsungsang, engkau kuberi nama Somadullah”.
7. KEBON PESISIR LEMAH WUNGKUK
Antara lama kemudian Ki Syekh berkata, “Somadullah, sekarang
aku beri ijin babakyasa, membangun
sebuah dukuh atau pemukiman dimulai pada hari Ahad tanggal 1 bulan Sura”. Pada
waktu itu diperkirakan tahun babad jaman/ Sakakala
1367 atau 1445 M.
Somadullah mematuhi perintah guru, tak lama kemudian segera
pamit ke arah Selatan perjalanannya menyusuri pinggir pantai bersama sang istri
dan sang adik. Sementara perjalanannya kemudian membelok ke arah barat menuju
ke Lemahwungkuk, dan ada sebuah rumah Ki Tua yang bernama Ki Gedeng Alang-Alang. Diceritakan Somadullah menumpang
beristirahat di sana. Ki Tua terheran sambil berkata, “Hai orang muda, engkau
siapa dan ada keperluan apa?”.
Berkatalah Somadullah, “Hamba santri gunung Jati, Somadullah
namaku, mendapat ijin dari guru untuk membangun sebuah dukuh/pemukiman. Hari
besok dimulainya babad/ menebang pepohonan besar kecil dan kalau diijinkan
mohon mondok sementara waktu tiga orang banyaknya”. Kemudian Ki Tua tersebut
berkata, “Hai Somadullah, bapak tidak punya anak dan kawan, sekarang kalian
bertiga aku akui sebagai anak. Engkau kuberi nama Cakrabumi”.
Somadullah menerimanya. Sekarang sudah diangkat anak, dan
setelah datang pada waktunya pagi hari Ahad lalu, ia memasuki hutan rawa
belukar menebangi pepohonan besar kecil tiap hari, lama olehnya ia babad/ buka
hutan yang sudah lapang lalu ditanami palawija dan membangun perkebunan. Ki Tua
melihat hutan sudah lapang dan ditanami palawija, hatinya suka cita sekali.
Cakrabumi disuruh menangkap ikan dan rebon.
Rebon adalah udang kecil yang banyak terdapat di laut. Cakrabumi mematuhi
perintah Ki Tua. Rebon itu ditumbuk dan dibikin terasi. Pedagang-pedagang dari Palimanan
dan Rajagaluh kemudian memberitahukan perihal terasi yang terkenal tersebut
kepada tetangga-tetangga desanya.
8. DUKUH CIREBON
Suatu waktu, Prabu Rajagaluh mengadakan sewaka/ seba (jumpa pejabat-pejabat pemerintahan), seluruh para
bupati. Sentana mentri dan para Gegedeng sudah berkumpul di hadapannya. Sang
Prabu segera memanggil Ki Dipati Palimanan. Gedeng Kiban namanya. Berkata sang prabu, “Hai Dipati Palimanan,
tanah pantai yang jadi dedukuh/ pemukiman, banyak orang yang berkebun dan ada
nelayan yang menangkap ikan dan rebon, aku lebih terasih (teras asih) tumbukan ikan rebon, agar diperiksa sampai jelas
dan ditetapkan pajak bagi nelayan rebon itu dalam setahun sepikul bubukan rebon
yang sudah halus gelondongan dan ada beberapa cacah jiwanya orang-orang yang
bermukim di pantai”.
Ki Dipati mengucap sandika (siap menjalankan perintah),
segera keluar meninggalkan sidang, memanggil punggawa pepitu (tujuh orang mentri) sudah menghadap kepadanya. Ki
Dipati berkata, “ Hai punggawa pepitu, sekarang periksalah dukuh baru di
pinggir pantai, ada berapa cacah jiwanya dan nelayan penangkap ikan rebon,
seyogyanya diberi ketetapan pajak tiap tahun sepikul bubukan rebon yang sudah
halus gelondongan. Harap diperiksa sampai terang, karena sang Prabu terasih sekali kepada bubukan rebon yang
sudah gelondongan tadi”. Para mentri pepitu mengucap sandika, lalu mereka terus
berjalan menuju ke pantai.
Diceritakan, Cakrabumi bersama sang istri dan sang adik
sedang menumbuk rebon di lumpang batu
dengan halu batu. Orang yang
mengkulak rebon berebut saling mendahului, berdesak-desakan sambil berceloteh,
“Oga age, geura age, geura beubeuk
(cepat-cepatlah ditumbuk)!”. Jadi masyhurlah sebutan “geura age” menjadi “Gerage”.
Tidak lama kemudian datanglah mentri pepitu utusan dari
Palimanan memeriksa dukuh baru itu, sudah ada cacah jiwa 364 orang. Mereka pun
mendatangi Ki Cakrabumi, lalu berkata juru bicara mentri pepitu, “Hai tukang
penangkap rebon, engkau diperintahkan oleh Sang Prabu untuk mengirim pajak tiap
tahun satu pikul bubukan rebon gelondongan, karena Sang Prabu lebih terasih dan
aku beri nama bubukan gelondongan rebon itu terasi, dan meminta
keterangan bagaimana cara membuat terasi itu”.
Cakrabumi mengucap sandika. Adapun menangkapnya dengan jala
tiap malam, diambilnya pagi-pagi. Rebon lalu diuyahi (digarami) seantara lalu diperas, kemudian dijemur. Setelah
kering lalu ditumbuk, digelondongi, demikian. Adapun air perasannya dimasak
dengan diberi bumbu-bumbu. Masakan air rebon lebih enak, diberi nama “petis blendrang”. Juru bicara mentri
berkata, “Coba ingin tau rasanya cai
(air) rebon itu”. Cakrabumi segera meminta istrinya memasak air perasan rebon.
Setelah masak lalu dihidangkan kepada para mentri pepitu. Mereka lalu makan
bersama dengan lauk rebon dan petis blendrang, sambil saling berkata, bahwa
cai/ air rebon lebih enak ketimbang garage
(terasi)nya. Karenanya Ki Mentri pepitu mengumumkan kepada rakyat dukuh
baru itu, memberi nama Dukuh Cirebon
(cai-rebon), kala waktu itu tahun 1447 M.
Pada tahun itu juga Mentri pepitu memanggil kumpul rakyat
Dukuh Cirebon untuk memilih seorang pikuat
(Kuwu) dukuh Cirebon. Semua mufakat memilih Ki Gedeng Alang-Alang menjadi Kuwu
dukuh Cirebon, yang kemudian ditetapkan oleh Mentri Pepitu dan menetapkan Ki
Cakrabumi sebagai wakilnya. Setelah itu para mentri pepitu pulang kembali ke
Palimanan untuk memberi laporan kepada Ki Dipati Palimanan.
Syahdan, Ki Gedeng Alang-Alang yang bergelar Kuwu Cirebon
dibantu oleh wakilnya yaitu Ki Cakrabumi menjalankan amanat dengan baik dan
bijaksana, membangun Dukuh Cirebon menjadi semakin pesat dan maju. Pada suatu
waktu, Ki Gedeng Alang-Alang pun wafat, kemudian atas mufakat rakyat, Ki
Cakrabumi ditunjuk untuk menggantikan beliau meneruskan jabatan sebagai Kuwu
Cirebon dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
Rakyat Cirebon kebanyakan sudah memeluk agama Islam.
Daerahnya sudah diakui oleh Kerajaan Rajagaluh, di bawah pemerintahan Kerajaan
Pajajaran. Lain-lain daerah adalah bukan pemerintahan, hanya sebagai pengguron/ pesantren seperti Ampeldenta,
Gresik, dan Krawang. Sedangkan Demak diakui sebagai sebuah desa oleh Majapahit
baru pada tahun 1478 M.
Ki Kuwu Cirebon bersuka hati dukuhnya sudah luas dan besar.
Ia segera memanggil sang istri dan sang adik untuk bersama mengahadap kepada
sang guru, Syekh Nurjati. Mereka kemudian bertemu dengan sang guru. Syekh
Nurjati berkata, “Somadullah, oleh karena engkau sudah melaksanakan amanat
membangun dukuh/ desa Cirebon dan masyarakat sudah sudah banyak turut memeluk
dan mengamalkan agama Islam, pada akhirnya kelak menjadi wilayah besar dan jadi
tempat berkumpulnya para Wali. Sekarang kau dan adikmu pergilah kepada Syekh Maulana Ibrahim “.
Pangeran Cakrabuana dan adiknya, Rarasantang pun pergi menuju
tempat Syekh Maulana Ibrahim dan bertemu dengan beliau. Syekh Maulana Ibrahim
pun member wejangan tarekat satariyah
kepada mereka berdua. Sepekan kemudian, Pangeran Cakrabuana dan adiknya
diperintahkan untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah dan dibawakan surat
untuk Syekh Bayan dan Syekh Abdullah di tanah Mekkah. Mereka
berdua pamit dan menuju Baitullah Mekkah sesuai perintah sang guru, Syekh
Nurjati. Kemudian sampailah mereka di tanah suci Mekkah, menunaikan ibadah haji
dan bertemu dengan Syekh Bayan dan Syekh Abdullah. Surat titipan sang guru pun
diberikan kepada dua orang syekh tersebut. Cakrabuana dan Rarasantang bermukim
di Mekkah sambil mengaji Al Qur’an dan berbagai Kitab, juga menerima wejangan
dari Syekh Bayan.
Di tanah suci Mekkah, Rarasantang bertemu jodohnya. Ia
dinikahi oleh Sultan Maulana Mahmud
Syarif Abdullah, seorang raja Arab. Kemudian Rarasantang diganti namanya
menjadi Syarifah Mudaim. Setelah
pernikahannya dengan Sultan Maulana Mahmud Syarif Abdullah, ia kemudian
mengandung. Pada saat kandungannya berusia tiga bulan, Pangeran Cakrabuana yang
juga dikenal sebagai Abdullah Iman,
pamit pulang kembali ke Cirebon di tanah Jawa. Pangeran Cakrabuana/ Abdullah Iman sebelum ke
tanah Jawa bertemu dengan Syekh Bayan dan Syekh Abdullah untuk berpamitan. Oleh
Syekh Bayan, Abdullah Iman diberi nama Bayanullah,
karena Syekh Abdullah pada waktu itu sudah memberinya nama Abdullah Iman.
Cakrabuana/ Bayanullah mengucapkan terima kasih, segera memohon pamit
meneruskan perjalanan. Sebelum ke tanah Jawa, Cakrabuana/ Abdullah Iman/
Bayanullah menyempatkan diri mampir ke Sultan Aceh. Setelah dari Aceh,
Cakrabuana melanjutkan perjalanan ke Palembang. Antara tiga bulan lamanya,
Bayanullah pulang dari Palembang kemudian menuju ke Gunung Jati, setelah itu
menuju dukuh Cirebon. Cakrabuana/ Abdullah Iman/ Bayanullah disambut dengan suka
cita oleh masyarakat dukuh Cirebon, dan seterusnya Pangeran Cakrabuana/
Abdullah Iman/ Bayanullah meneruskan memangku jabatannya sebagai Kuwu Cirebon.
9. LAHIRNYA WALI KUTUB
Rarasantang/ Syarifah Mudaim yang telah menikah dengan Sultan
Syarif Abdullah telah mengandung usia kehamilan tujuh bulan, pergi berziarah ke
Mekkah dan Madinah. Tak lupa berziarah juga ke makam Rasullullah Muhammad SAW,
setelah itu kembali pulang ke Mekkah.
Rarasantang/ Syarifah Mudaim sang permaisuri sudah cukup bulannya
untuk bersalin. Adapun antara hari bulan Maulud tanggal 12 ba’da subuh,
Syarifah Mudaim melahirkan seorang bayi laki-laki yang elok sekali, seolah sang
jabang bayi begitu bercahaya. Sultan Syarif Abdullah gembira sekali, lalu sang
bayi dibawa tawaf di Baitullah,
dengan diiringi para ulama dan para mukmin. Bayi elok tersebut kemudian diberi
nama Syarif Hidayatullah, bertepatan
pada tahun 1448 M.
Sekitar dua tahun kemudian atau 1450 M, Syarifah Mudaim melahirkan seorang bayi laki-laki lagi,
yang diberi nama Syarif Nurullah.
Beberapa tahun lamanya, Sultan Syarif Abdullah wafat, dan ditunjuklah Patih
Jamalullail sebagai penerus sementara Sultan, dengan tugas diantaranya
membimbing Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah hingga dewasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar