Right click disabled

4 Sep 2012

Babad Cirebon - oleh PS. Sulendraningrat (bagian 2)





6.      GUNUNG JATI

Walangsungsang memohon pamit hendak meneruskan mencari agama Islam menurut syariat Nabi Muhammad SAW.  Sanghyang Luhung/ Sang Bangu berkata, “Hai putra, datanglah ke gunung Jati, di sana ada seseorang bernama  Syekh Nurjati yang berasal dari Mekkah, yang sedang bertapa tidur dialah yang empunya agama Islam syariat Nabi Muhammad”.
Walangsungsang segera pamit menuju gunung Jati, kemudian sampai di hadapan Syekh Nurjati. Sang istri dan sang adik pun menghaturkan hormat. Ki Syekh Nurjati segera terjaga melihat tiga orang tamu. Sambil senyum ia berkata, “Hai tiga orang muda di hadapanku dengan memberi hormat, siapakah kalian, asal kalian dari mana, dan apa keperluan kalian?” Walangsungsang kemudian berkata, “Nama hamba Walangsungsang, putra Pajajaran yang hendak berguru agama Islam, bersama adik kandung hamba Rarasantang. Adapun istri hamba Indangayu namanya, putri Sanghyang Danuwarsih dari gunung Maraapi.” Syekh Nurjati pun berkata,”Bagaimana mulanya seorang putra Raja menghendaki Islam dan mendapat petunjuk dari siapa tentang gunung Jati?” Walangsungsang kemudian menceritakan keinginan memeluk agama Islam beserta petualangannya selama mengembara dari awal hingga akhir. Ki Syekh Nurjati segera member wejangan kepada ketiga anak muda tersebut untuk mengucapkan dua kalimat Syahadat, sholat lima waktu, sholawat dan dzikir, zakat fitrah, berpuasa di bulan Romadhon dan menunaikan ibadah haji, kemudian diwejang Al Qur’an, kitab Fiqih dan Tasawuf. Setelah memberikan wejangan kepada Walangsungsang, Indangayu, dan Rarasantang, Ki Syekh Nurjati memanggil, “Walangsungsang, engkau kuberi nama Somadullah”.



7.      KEBON PESISIR LEMAH WUNGKUK

Antara lama kemudian Ki Syekh berkata, “Somadullah, sekarang aku beri ijin babakyasa, membangun sebuah dukuh atau pemukiman dimulai pada hari Ahad tanggal 1 bulan Sura”. Pada waktu itu diperkirakan tahun babad jaman/ Sakakala 1367 atau 1445 M.
Somadullah mematuhi perintah guru, tak lama kemudian segera pamit ke arah Selatan perjalanannya menyusuri pinggir pantai bersama sang istri dan sang adik. Sementara perjalanannya kemudian membelok ke arah barat menuju ke Lemahwungkuk, dan ada sebuah rumah Ki Tua yang bernama Ki Gedeng Alang-Alang. Diceritakan Somadullah menumpang beristirahat di sana. Ki Tua terheran sambil berkata, “Hai orang muda, engkau siapa dan ada keperluan apa?”.
Berkatalah Somadullah, “Hamba santri gunung Jati, Somadullah namaku, mendapat ijin dari guru untuk membangun sebuah dukuh/pemukiman. Hari besok dimulainya babad/ menebang pepohonan besar kecil dan kalau diijinkan mohon mondok sementara waktu tiga orang banyaknya”. Kemudian Ki Tua tersebut berkata, “Hai Somadullah, bapak tidak punya anak dan kawan, sekarang kalian bertiga aku akui sebagai anak. Engkau kuberi nama Cakrabumi”.
Somadullah menerimanya. Sekarang sudah diangkat anak, dan setelah datang pada waktunya pagi hari Ahad lalu, ia memasuki hutan rawa belukar menebangi pepohonan besar kecil tiap hari, lama olehnya ia babad/ buka hutan yang sudah lapang lalu ditanami palawija dan membangun perkebunan. Ki Tua melihat hutan sudah lapang dan ditanami palawija, hatinya suka cita sekali. Cakrabumi disuruh menangkap ikan dan rebon. Rebon adalah udang kecil yang banyak terdapat di laut. Cakrabumi mematuhi perintah Ki Tua. Rebon itu ditumbuk dan dibikin terasi. Pedagang-pedagang dari Palimanan dan Rajagaluh kemudian memberitahukan perihal terasi yang terkenal tersebut kepada tetangga-tetangga desanya.



8.      DUKUH CIREBON

Suatu waktu, Prabu Rajagaluh mengadakan sewaka/ seba (jumpa pejabat-pejabat pemerintahan), seluruh para bupati. Sentana mentri dan para Gegedeng sudah berkumpul di hadapannya. Sang Prabu segera memanggil Ki Dipati Palimanan. Gedeng Kiban namanya. Berkata sang prabu, “Hai Dipati Palimanan, tanah pantai yang jadi dedukuh/ pemukiman, banyak orang yang berkebun dan ada nelayan yang menangkap ikan dan rebon, aku lebih terasih (teras asih) tumbukan ikan rebon, agar diperiksa sampai jelas dan ditetapkan pajak bagi nelayan rebon itu dalam setahun sepikul bubukan rebon yang sudah halus gelondongan dan ada beberapa cacah jiwanya orang-orang yang bermukim di pantai”.
Ki Dipati mengucap sandika (siap menjalankan perintah), segera keluar meninggalkan sidang, memanggil punggawa pepitu (tujuh orang mentri) sudah menghadap kepadanya. Ki Dipati berkata, “ Hai punggawa pepitu, sekarang periksalah dukuh baru di pinggir pantai, ada berapa cacah jiwanya dan nelayan penangkap ikan rebon, seyogyanya diberi ketetapan pajak tiap tahun sepikul bubukan rebon yang sudah halus gelondongan. Harap diperiksa sampai terang, karena sang Prabu terasih sekali kepada bubukan rebon yang sudah gelondongan tadi”. Para mentri pepitu mengucap sandika, lalu mereka terus berjalan menuju ke pantai.
Diceritakan, Cakrabumi bersama sang istri dan sang adik sedang menumbuk rebon di lumpang batu dengan halu batu. Orang yang mengkulak rebon berebut saling mendahului, berdesak-desakan sambil berceloteh, “Oga age, geura age, geura beubeuk (cepat-cepatlah ditumbuk)!”. Jadi masyhurlah sebutan “geura age” menjadi “Gerage”.
Tidak lama kemudian datanglah mentri pepitu utusan dari Palimanan memeriksa dukuh baru itu, sudah ada cacah jiwa 364 orang. Mereka pun mendatangi Ki Cakrabumi, lalu berkata juru bicara mentri pepitu, “Hai tukang penangkap rebon, engkau diperintahkan oleh Sang Prabu untuk mengirim pajak tiap tahun satu pikul bubukan rebon gelondongan, karena Sang Prabu lebih terasih dan aku beri nama bubukan gelondongan rebon itu terasi, dan meminta keterangan bagaimana cara membuat terasi itu”.
Cakrabumi mengucap sandika. Adapun menangkapnya dengan jala tiap malam, diambilnya pagi-pagi. Rebon lalu diuyahi (digarami) seantara lalu diperas, kemudian dijemur. Setelah kering lalu ditumbuk, digelondongi, demikian. Adapun air perasannya dimasak dengan diberi bumbu-bumbu. Masakan air rebon lebih enak, diberi nama “petis blendrang”. Juru bicara mentri berkata, “Coba ingin tau rasanya cai (air) rebon itu”. Cakrabumi segera meminta istrinya memasak air perasan rebon. Setelah masak lalu dihidangkan kepada para mentri pepitu. Mereka lalu makan bersama dengan lauk rebon dan petis blendrang, sambil saling berkata, bahwa cai/ air rebon lebih enak ketimbang garage (terasi)nya. Karenanya Ki Mentri pepitu mengumumkan kepada rakyat dukuh baru itu, memberi nama Dukuh Cirebon (cai-rebon), kala waktu itu tahun 1447 M.
Pada tahun itu juga Mentri pepitu memanggil kumpul rakyat Dukuh Cirebon untuk memilih seorang pikuat (Kuwu) dukuh Cirebon. Semua mufakat memilih Ki Gedeng Alang-Alang menjadi Kuwu dukuh Cirebon, yang kemudian ditetapkan oleh Mentri Pepitu dan menetapkan Ki Cakrabumi sebagai wakilnya. Setelah itu para mentri pepitu pulang kembali ke Palimanan untuk memberi laporan kepada Ki Dipati Palimanan.
Syahdan, Ki Gedeng Alang-Alang yang bergelar Kuwu Cirebon dibantu oleh wakilnya yaitu Ki Cakrabumi menjalankan amanat dengan baik dan bijaksana, membangun Dukuh Cirebon menjadi semakin pesat dan maju. Pada suatu waktu, Ki Gedeng Alang-Alang pun wafat, kemudian atas mufakat rakyat, Ki Cakrabumi ditunjuk untuk menggantikan beliau meneruskan jabatan sebagai Kuwu Cirebon dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
Rakyat Cirebon kebanyakan sudah memeluk agama Islam. Daerahnya sudah diakui oleh Kerajaan Rajagaluh, di bawah pemerintahan Kerajaan Pajajaran. Lain-lain daerah adalah bukan pemerintahan, hanya sebagai pengguron/ pesantren seperti Ampeldenta, Gresik, dan Krawang. Sedangkan Demak diakui sebagai sebuah desa oleh Majapahit baru pada tahun 1478 M.
Ki Kuwu Cirebon bersuka hati dukuhnya sudah luas dan besar. Ia segera memanggil sang istri dan sang adik untuk bersama mengahadap kepada sang guru, Syekh Nurjati. Mereka kemudian bertemu dengan sang guru. Syekh Nurjati berkata, “Somadullah, oleh karena engkau sudah melaksanakan amanat membangun dukuh/ desa Cirebon dan masyarakat sudah sudah banyak turut memeluk dan mengamalkan agama Islam, pada akhirnya kelak menjadi wilayah besar dan jadi tempat berkumpulnya para Wali. Sekarang kau dan adikmu pergilah kepada Syekh Maulana Ibrahim “.
Pangeran Cakrabuana dan adiknya, Rarasantang pun pergi menuju tempat Syekh Maulana Ibrahim dan bertemu dengan beliau. Syekh Maulana Ibrahim pun member wejangan tarekat satariyah kepada mereka berdua. Sepekan kemudian, Pangeran Cakrabuana dan adiknya diperintahkan untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah dan dibawakan surat untuk Syekh Bayan dan Syekh Abdullah di tanah Mekkah. Mereka berdua pamit dan menuju Baitullah Mekkah sesuai perintah sang guru, Syekh Nurjati. Kemudian sampailah mereka di tanah suci Mekkah, menunaikan ibadah haji dan bertemu dengan Syekh Bayan dan Syekh Abdullah. Surat titipan sang guru pun diberikan kepada dua orang syekh tersebut. Cakrabuana dan Rarasantang bermukim di Mekkah sambil mengaji Al Qur’an dan berbagai Kitab, juga menerima wejangan dari Syekh Bayan.
Di tanah suci Mekkah, Rarasantang bertemu jodohnya. Ia dinikahi oleh Sultan Maulana Mahmud Syarif Abdullah, seorang raja Arab. Kemudian Rarasantang diganti namanya menjadi Syarifah Mudaim. Setelah pernikahannya dengan Sultan Maulana Mahmud Syarif Abdullah, ia kemudian mengandung. Pada saat kandungannya berusia tiga bulan, Pangeran Cakrabuana yang juga dikenal sebagai Abdullah Iman, pamit pulang kembali ke Cirebon di tanah Jawa.  Pangeran Cakrabuana/ Abdullah Iman sebelum ke tanah Jawa bertemu dengan Syekh Bayan dan Syekh Abdullah untuk berpamitan. Oleh Syekh Bayan, Abdullah Iman diberi nama Bayanullah, karena Syekh Abdullah pada waktu itu sudah memberinya nama Abdullah Iman. Cakrabuana/ Bayanullah mengucapkan terima kasih, segera memohon pamit meneruskan perjalanan. Sebelum ke tanah Jawa, Cakrabuana/ Abdullah Iman/ Bayanullah menyempatkan diri mampir ke Sultan Aceh. Setelah dari Aceh, Cakrabuana melanjutkan perjalanan ke Palembang. Antara tiga bulan lamanya, Bayanullah pulang dari Palembang kemudian menuju ke Gunung Jati, setelah itu menuju dukuh Cirebon. Cakrabuana/ Abdullah Iman/ Bayanullah disambut dengan suka cita oleh masyarakat dukuh Cirebon, dan seterusnya Pangeran Cakrabuana/ Abdullah Iman/ Bayanullah meneruskan memangku jabatannya sebagai Kuwu Cirebon.



9.      LAHIRNYA WALI KUTUB

Rarasantang/ Syarifah Mudaim yang telah menikah dengan Sultan Syarif Abdullah telah mengandung usia kehamilan tujuh bulan, pergi berziarah ke Mekkah dan Madinah. Tak lupa berziarah juga ke makam Rasullullah Muhammad SAW, setelah itu kembali pulang ke Mekkah.
Rarasantang/ Syarifah Mudaim sang permaisuri sudah cukup bulannya untuk bersalin. Adapun antara hari bulan Maulud tanggal 12 ba’da subuh, Syarifah Mudaim melahirkan seorang bayi laki-laki yang elok sekali, seolah sang jabang bayi begitu bercahaya. Sultan Syarif Abdullah gembira sekali, lalu sang bayi dibawa tawaf di Baitullah, dengan diiringi para ulama dan para mukmin. Bayi elok tersebut kemudian diberi nama Syarif Hidayatullah, bertepatan pada tahun 1448 M.
Sekitar dua tahun kemudian atau 1450 M, Syarifah Mudaim melahirkan seorang bayi laki-laki lagi, yang diberi nama Syarif Nurullah. Beberapa tahun lamanya, Sultan Syarif Abdullah wafat, dan ditunjuklah Patih Jamalullail sebagai penerus sementara Sultan, dengan tugas diantaranya membimbing Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah hingga dewasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar