14.
JENG MAULANA INSANKAMIL BERTOLAK KE
NEGERI CINA
Syahdan pada suatu waktu Jeng Maulana Insankamil bertolak ke
negeri Cina, datang sudah di pinggir pantai. Jeng Maulana mendatangi tukang
keramik pembuat piring panjang. Mereka berbincang lama dan Jeng Maulana tidak
lupa melaksanakan syiar Islam, hingga sang pembuat piring panjang tertarik dan
kemudian memeluk agama Islam. Jeng Maulana pamit dan meneruskan perjalanannya
hingga bertemu dengan tukang bikin penimbal poci. Seperti halnya dengan tukang
keramik pembuat piring panjang, sang tukang bikin penimbal poci pun tertarik
dengan ajaran Islam dan kemudian memeluk agama Islam. Jeng Maulana pun
meneruskan perjalanan hingga sampai ke kerajaan Tartar dan sampai di ibukota.
Orang Tartar dan pembesar-pembesarnya berturut-turut memeluk Islam. Kemudian
Jeng Maulana memutuskan untuk bermukim di sana beberapa waktu lamanya. Kabar
adanya seorang pemuka agama termashur yang lebih bijaksana waspada
penglihatannya “weruh sedurunge winara”
(tahu sebelum terjadi), terdengar oleh Raja Ong Te ratu agung di Negara Cina. Beliau memanggil semua pejabat
pemerintahan. Berkata sang raja, “Hai patih, menurut kabar bahwa di Negara
Tartar ada pendeta baru termashur
bijaksana waspada penglihatannya, sekarang undanglah menghadap supaya bersama
seperjalanan, harap jangan sampai tidak terbawa”.
Sang Patih mengucap sandika, dan berlalu dari hadapan raja
kemudian segera mengendarai kudanya. Sekian waktu lamanya, sang patih bertemu
dengan Jeng Maulana Insankamil lalu duduk sejajar. Berkata Jeng Maulana, “Hai
Patih, selamat datang, anda datang tergesa-gesa seperti ada keperluan yang
penting”. Patih berkata, “Apakah anda pendeta yang mashur itu, siapa nama anda
dan dari mana asalnya?” Jeng Maulana manjawab, “Hamba berasal dari Jawa,
Cirebon tempatnya, Insankamil namaku”. Lalu patih berkata, “Anda sekarang juga
dipanggil menghadap oleh raja, harap ikut bersama seperjalanan”. Berkata Jeng
Maulana, “Wahai Patih, harap anda berangkat terlebih dahulu nanti aku bertemu
di dalam keratin, tidak usah diiringkan”. Patih menuruti permintaan Jeng
Maulana dan segera kembali ke ibukota kerajaan untuk bertemu sang raja.
Beberapa lama kemudian, sang patih sampai di kerajaan dan
menghadap raja. Ternyata, Jeng Maulana sudah berada di hadapan raja. Sang patih
sungguh terheran-heran sekali karena Jeng Maulana sudah sampai terlebih dahulu.
Segera sang raja berkata, “Apakah ini orangnya pendeta baru di Negara Tartar,
dan apakah nyata kebijaksanaannya?” Patih berkata, “Sungguh menurut kabar bahwa
pendeta baru itu bijaksana.”
Raja bermaksud menguji kemampuan Jeng Maulana. Putrinya yang
bernama Ong Tien diberi bokor
kuningan di atas perutnya dan dihias sedemikian rupa hingga sang putri
terlihat seperti sedang mengandung. Lalu sang putri disuruh menghadap
ayahandanya. Berkata sang raja, “Hai pendeta muda, lihatlah putriku itu apakah
ia mengandung karena penyakit, atau apakah mengandung sebenarnya? Kalau kena
penyakit, apa obatnya, kalau mengandung karena perbuatan siapa, selekasnya anda
memberi petunjuk”. Jeng Maulana melihat dalam laukhil mahfud bahwa raja Ong Te tidak ditakdirkan Islam
serakyatnya, hanya putri serombongannya. Lalu berkata Jeng Maulana, “Wahai
raja Cina, anak anda itu mengandung karena kuasa Allah tanpa dikarenakan lawan
jenis”. Mendengar jawaban tersebut, raja murka sekali. Jeng Maulana pun diusir
keluar istana. Akhirnya Jeng Maulana menghaturkan pamit dan meneruskan
perjalanannya.
Diceritakan, bokor kuningan yang berada di perut putri Ong
Tien tiba-tiba lenyap dan perut sang putri nampak seperti mengandung
sebenarnya. Raja terbengong-bengong dan heran sekali. Sang Putri menjadi jatuh
hati pada Jeng Maulana dan siang malam menangis terus teringat pada Jeng Maulana. Melihat hal ini, sang raja
menyebar wadyabala untuk mencari Jeng Maulana di Negara Tartar, namun Jeng
Maulana sudah tidak ada di tempat tersebut. Mengetahui kabar tersebut, sang
putri semakin bertambah rindu dan ia berkata pada ayahandanya, “Duhai ayahanda,
hidupku serasa tiada guna bila tidak dapat betemu dan menjadi satu dengan
pendeta muda itu. Aku ingin menyusul sendiri ke tempatnya di Jawa”. Sang raja
kebingungan sekali, bila tidak dituruti kemauan putrinya, ia khawatir sang
putri akan semakin bersedih. Kemudian raja memanggil sang patih, “Hai patih,
engkau iringilah putriku Ong Tien bertolak ke tempatnya di Jawa, bawalah
seorang pembantumu, wadyabala 1.500 orang dan tiga kapal, isilah guci, panjang, kong, jembangan, uang dan bekal sebanyak mungkin untuk perjalanan
nanti. Kelak kalau sudah bertemu dengan pendeta muda itu dimohon pulang ke
Negara Tartar, lima Negara bagian akan aku berikan padanya, sungguh jangan
sampai tidak terbawa dan barang-barang di dalam
dua kapal dan orang-orang sekapal itu berikanlah kepada pendeta muda.
Kalau putriku betah tinggal di Jawa, supaya diserahkan tetap bermukim di sana
untuk mengabdi pada pendeta muda”. Sang patih mengucap sandika dan mengantar
putri Ong Tien beserta rombongan menuju Cirebon di pulau Jawa sebagai tempat
asal Jeng Maulana.
15.
PATIH KELING BERSAMA BAWAHANNYA
MEMELUK ISLAM
Diceritakan,
Patih Keling dan rombongannya
berjumlah 99 orang sedang mengadakan upacara tradisi merubung jenazah rajanya
di atas kapal layar di tengah laut. Tidak lama kemudian datanglah Jeng Maulana
Insankamil di hadapan mereka. Bertanyalah Jeng Maulana, “Ada apakah ini jenazah
orang dirubung dijaga-jaga? Sebaiknya kamu sekalian masuk agama Islam”.
Orang-orang Keling tersinggung karenanya dan marah, mata mereka mendelik,
mereka tiga-tiba menyerang Jeng Maulana. Oleh karena kramatnya Jeng Maulana,
orang-orang Keling satu persatu roboh tidak bergerak. Segera orang-orang Keling
mohon ampun dan sembuh seperti sedia kala. Jeng Maulana memberi wejangan
syahadat agama Islam, orang-orang Keling lalu waluya lagi/sembuh seperti semula. Ki Patih Keling dan
rombongannya lalu mengabdi, dan mereka mengiring Jeng Maulana terus berlayar
menuju Cirebon.
Sri Mangana
(Pangeran Cakrabuana/ Ki Kuwu Cirebon) telah membangun pesanggrahan/petamanan
di gunung Sembung untuk sang
keponakan (Syarif Hidayatullah/ Jeng Maulana Insankamil). Beberapa lama kemudian,
datanglah sang keponakan sudah di hadapannya dengan diiring oleh Ki Patih
Keling dan rombongannya. Sri Mangana bergembira sekali. Beberapa hari kemudian
Ki Kuwu berkata, “Wahai putraku Insankamil, sekarang seyogyanya jadi Imam
menyiarkan agama Islam, Rama menyerahkan kraton Pakungwati di tanah Cirebon
serakyatnya dan Rama menyediakan pesanggrahan di gunung Sembung”. Jeng Maulana
menjawab, “Terima kasih atas sih
pemberian Pak De, pada waktu sekarang belum dapat menerima Negara, karena belum
mempunyai karya, namun gunung Sembung saya terima untuk pemukiman orang-orang
Keling”. Ki Kuwu menyetujui. Segera Jeng Maulana dan orang-orang Keling beberes dan bermukim di pesanggrahan
gunung Sembung.
15.
CIREBON DISERAHKAN KEPADA JENG
MAULANA INSANKAMIL
Syahdan pada suatu hari para murid sedang berkumpul, Pangeran
Panjunan, Pangeran Kejaksan, Syekh Datuk Khafid, Syekh Majagung, Syekh
Lemahabang, Syekh Bentong, Syekh Maghrib, dan para gegedeng/gegedug sudah menghadap Ki Kuwu Cirebon. Ki Kuwu berkata,
“Sekarang Rama memasyhrahkan putri Rama yang bernama Ratna Pakungwati beserta kratonnya berikut seluruh wilayah Cirebon
yang Rama babakyasa/ bangun,
terimalah semuanya, semoga putra menjabat sebagai Nata/ Raja Cirebon memangku
kraton Pakungwati”. Jeng Maulana menerimanya menurut kehendak uwak/ Pakde- nya.
Berkata Pangeran Panjunan,” Pula si Raka (kakak) menyerahkan adik Siti Baghdad
serombongannya berikut Dukuh Panjunan serakyatnya, hanya semoga rakyat Panjunan
diberi tanah untuk penghidupannya (tanah liat untuk membuat keramik)
seturunannya, oleh karena Raka hendak pergi bertapa”. Syekh Datuk Khafid dan
Pangeran Kejaksan juga menyerahkan para penganutnya. Jeng Maulana pun
menerimanya.
Ki Kuwu berkata, “Putra semoga memasuki kraton Pakungwati dan
besok hari dinobatkan”. Jeng Maulana menyetujuinya. Esok harinya, dari gunung
Jati Jeng Maulana diiringi oleh segenap para murid, para Syekh, para Pangeran
dan para gegedeng bertolak ke kraton Pakungwati, datang sudah di dalam kraton.
Ki Kuwu bergembira sekali menyelenggarakan hidangan kehormatan, dan malam Jumat
Jeng Maulana dinikahkan dengan putri Ki Kuwu yang bernama Ratna Pakungwati.
Jeng Maulana Insankamil sebakdanya nikah pada waktu tengah malam pergi ke
gunung Jati untuk melaksanakan shalat hajat empat raka’at semoga keridhoan oleh
Allah SWT menjadi Nata/ Raja, mohon terus langsung seketurunannya, dan ridhonya
bumi sukanya Negara. Sebakdanya shalat lalu datang seekor naga yang lebih besar
sekali, membelit melata mohon diterima mengabdi.
Jeng Maulana mengetahui kemauan naga itu lalu berkata, “Hai
sang naga, oleh karena engkau hewan yang besar sekali mengabdi padaku,
bagaimana nantinya wadyabala manusia niscaya tidak ada yang berani mendekat”.
Sang naga menjawab, “Duhai Gusti, bagaimana kehendak Paduka, karena hamba ingin
mengabdi mohon diterima”. Jeng Maulana berkata, “Kalau engkau sungguh-sunguh
mau mengabdi, jadilah sebuah keris dapur naga ber-luk Sembilan. Sang naga pun
berubah menjadi sebuah keris, dan disebut Kaki
Naga Gede. Jeng Maulana lalu pulang ke kraton Pakungwati terus shalat subuh
dalam masjid Pajlagrahan. Sebakdanya shalat subuh, di hadapan Sri Mangana, para
Wali, para gegedeng dan para wadyabala, Jeng Maulana dinobatkan sebagai kapala
Negara Cirebon, antara bakda Jumat mengumumkan kepada khalayak ramai,
bahwasanya Jeng Maulana Insankamil menjabat sebagai Yang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panata
agama Awliya Allah Kutubijaman Kholifatur Rasulullahu alaihi wassalam pada
tahun 1479 M. Patih Keling diangkat
menjadi patihnya dengan gelar Dipati
Suranenggala/ Dipati Keling, Pepatih
Dalem Kanjeng Sinuhun Susuhunan Cirebon.
Jeng Maulana selesai dinobatkan menjadi Yang Sinuhun
Susuhunan Cirebon kemudian bermukim di kraton Pakungwati Cirebon. Beberapa hari
kemudian membangun tembok keliling kraton. Sejak tahun ini pula Cirebon
menghentikan upeti tahunannya kepada Pajajaran dan Rajagaluh. Pada tahun ini
pula Wali Sanga Jawadwipa menobatkan Raden Patah sebagai Sultan Demak. Raja
Brawijaya Majapahit masih mengakui Demak sebagai Negara bagian Majapahit, namun
tidak melakukan tindakan apa-apa.
16.
SUNAN JATI BERTOLAK KE LURAGUNG
Suatu hari
Ki Kuwu berkata, “Putraku, lekaslah bertolak ke Luragung menyiarkan agama Islam
dan melebarkan wilayah di Luragung. Raja dan rakyatnyanya masih belum Islam”.
Jeng Sunan Jati mematuhi perintah sang rama, segera menuju Luragung. Sampailah
beliau di kraton Luragung dan bertemu dengan raja. Berkata Jeng Sunan Jati,
“Wahai paduka raja, sebaiknya sekarang anutlah agama Islam dan hendaknya rakyat
paduka juga”. Sang raja Luragung tertarik dengan pengabaran Sunan Jati tentang
Islam, menjadi lebih kasih hatinya. Ia pun memeluk agama Islam dan mengajak
seluruh pejabat dan rakyatnya memeluk agama Islam.
Diceritakan,
sang putri Cina yang bernama Ong Tien dan Patih beserta rombongannya sudah
sampai di pantai Cirebon pada tahun 1481
M. Mereka menanyakan perihal keberadaan Jeng Maulana Insankamil. Penduduk
Cirebon menjawab bahwasanya Jeng Maulana sedang berada di Luragung. Segera sang
putri dan rombongannya bertolak ke Luragung. Barang-barang mereka yang sudah di
darat diterima oleh Patih Keling. Sang Putri akhirnya sampai di Luragung.
Jeng Sunan
Jati sedang duduk bersama dengan Gedeng
Kemuning. Tidak lama kemudian sampailah putri Ong Tien lalu bertemu dengan
Jeng Sunan Jati. Betapa gembiranya sang putri. Sang Patih Cina manyampaikan
pesan dari rajanya, agar menerima sang putri dan pemberian dari sang raja. Jeng
Sunan Jati pun menerimanya.
Sang Putri
telah datang waktunya untuk melahirkan, tidak lama kemudian lalu melahirkan
bokor kuningan. Jeng Sunan Jati berkata, “Tidak ada adatnya orang melahirkan
bokor, kalau seorang manusia melahirkan tentu keluar bayi manusia”. Saksana/ sekonyong-konyong bokor lenyap,
jadi bayi elok warnanya semua merjurit.
Sang bayi diberi nama Pangeran Kuningan.
Jeng Sunan Jati berkata, “Hai Gedeng Kemuning, aku titipkan anak ini pada anda,
peliharalah dengan baik, semua wilayahku yang sudah ada sekarang serahkanlah
pada Pangeran Kuningan, yang jadi wakilnya adalah anda, Gedeng Kemuning”. Ki
Gedeng Kemuning mengucap sandika. Ia membawa Pangeran Kuningan pulang ke
rumahnya. Kebetulan ia mempunyai anak pula yang masih menyusui, karenanya
Pangeran Kuningan disusukan bersama anaknya itu dan Pangeran Kuningan
dipelihara sebaik-baiknya sesuai amanat Jeng Sunan Jati. Adapun dukuh Ki Gedeng
Kemuning sejak itu disebut Kuningan.
Diceritakan,
Jeng Sunan Jati sudah pulang di pesanggrahan gunung Sembung. Putri Ong Tien dan
rombongannya sudah masuk Islam semua. Jeng Sunan Jati pun menikah dengan putri
Ong Tien, yang kemudian berganti nama menjadi Nyi Mas Rarasumanding. Sekian lama kemudian, sang putri wafat. Jeng
Sunan Jati lalu bertafakur di gunung Jati.
Suatu hari Nyi Mas Rarakerta yang merupakan putri
dari Ki Gedeng Jatimerta sedang
berjalan di perkebunan, Jeng Sunan Jati melihatnya. Kelak di kemudian hari
menjadikan tumbuh bungnya bambu di
tempat itu. Jeng Sunan Jati segera bertolak ke pedesaan, dan pada waktu Ashar
mampir di rumah Ki Gedeng Babadan
hendak mandi dan berwudlu. Bajunya disangkutkan pada dahan bunga cempaka yang
sudah mati meranggas daunnya.
Jeng Sunan Jati sebakdanya mengambil air wudlu
lalu bajunya dikenakan kembali, lalu pohon bunga cempaka hidup kembali seperti
sediakala, segar dan gemuk. Tidak lama kemudian Nyi Retna Babadan keluar dari rumahnya melihat pepohonan bunganya
sudah waluya/ segar kembali seperti
semula, karenanya ia bergembira sekali, sambil berkata, “Siapakah orangnya yang
telah dapat menghidupsegarkan kembali pepohonan bungaku ini, apabila lelaki aku
terima sebagai suami, dan apabila perempuan aku terima sebagai saudara”. Tidak
lama kemudian Jeng Sunan Jati keluar setelah shalat Ashar lalu berkata, “Itu
pepohonan bunga anda telah hidup segar kembali atas kehendak Allah lantaran
oleh bajuku.” Nyi Mas Retna Babadan menepati janjinya, segera ia mengutarakan
peristiwa tersebut pada ayahandanya. Ki Gedeng Babadan menikahkan anaknya
dengan Jeng Sunan Jati. Beberapa hari lamanya, Jeng Sunan Jati beserta Nyi Mas
Retna Babadan pulang ke gunung Sembung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar