Right click disabled

8 Sep 2012

Babad Cirebon - oleh PS Sulendraningrat (bagian 4)



 
14.      JENG MAULANA INSANKAMIL BERTOLAK KE NEGERI CINA

Syahdan pada suatu waktu Jeng Maulana Insankamil bertolak ke negeri Cina, datang sudah di pinggir pantai. Jeng Maulana mendatangi tukang keramik pembuat piring panjang. Mereka berbincang lama dan Jeng Maulana tidak lupa melaksanakan syiar Islam, hingga sang pembuat piring panjang tertarik dan kemudian memeluk agama Islam. Jeng Maulana pamit dan meneruskan perjalanannya hingga bertemu dengan tukang bikin penimbal poci. Seperti halnya dengan tukang keramik pembuat piring panjang, sang tukang bikin penimbal poci pun tertarik dengan ajaran Islam dan kemudian memeluk agama Islam. Jeng Maulana pun meneruskan perjalanan hingga sampai ke kerajaan Tartar dan sampai di ibukota. Orang Tartar dan pembesar-pembesarnya berturut-turut memeluk Islam. Kemudian Jeng Maulana memutuskan untuk bermukim di sana beberapa waktu lamanya. Kabar adanya seorang pemuka agama termashur yang lebih bijaksana waspada penglihatannya “weruh sedurunge winara” (tahu sebelum terjadi), terdengar oleh Raja Ong Te ratu agung di Negara Cina. Beliau memanggil semua pejabat pemerintahan. Berkata sang raja, “Hai patih, menurut kabar bahwa di Negara Tartar ada pendeta baru termashur bijaksana waspada penglihatannya, sekarang undanglah menghadap supaya bersama seperjalanan, harap jangan sampai tidak terbawa”.
Sang Patih mengucap sandika, dan berlalu dari hadapan raja kemudian segera mengendarai kudanya. Sekian waktu lamanya, sang patih bertemu dengan Jeng Maulana Insankamil lalu duduk sejajar. Berkata Jeng Maulana, “Hai Patih, selamat datang, anda datang tergesa-gesa seperti ada keperluan yang penting”. Patih berkata, “Apakah anda pendeta yang mashur itu, siapa nama anda dan dari mana asalnya?” Jeng Maulana manjawab, “Hamba berasal dari Jawa, Cirebon tempatnya, Insankamil namaku”. Lalu patih berkata, “Anda sekarang juga dipanggil menghadap oleh raja, harap ikut bersama seperjalanan”. Berkata Jeng Maulana, “Wahai Patih, harap anda berangkat terlebih dahulu nanti aku bertemu di dalam keratin, tidak usah diiringkan”. Patih menuruti permintaan Jeng Maulana dan segera kembali ke ibukota kerajaan untuk bertemu sang raja.
Beberapa lama kemudian, sang patih sampai di kerajaan dan menghadap raja. Ternyata, Jeng Maulana sudah berada di hadapan raja. Sang patih sungguh terheran-heran sekali karena Jeng Maulana sudah sampai terlebih dahulu. Segera sang raja berkata, “Apakah ini orangnya pendeta baru di Negara Tartar, dan apakah nyata kebijaksanaannya?” Patih berkata, “Sungguh menurut kabar bahwa pendeta baru itu bijaksana.”
Raja bermaksud menguji kemampuan Jeng Maulana. Putrinya yang bernama Ong Tien diberi bokor kuningan di atas perutnya dan dihias sedemikian rupa hingga sang putri terlihat seperti sedang mengandung. Lalu sang putri disuruh menghadap ayahandanya. Berkata sang raja, “Hai pendeta muda, lihatlah putriku itu apakah ia mengandung karena penyakit, atau apakah mengandung sebenarnya? Kalau kena penyakit, apa obatnya, kalau mengandung karena perbuatan siapa, selekasnya anda memberi petunjuk”. Jeng Maulana melihat dalam laukhil mahfud bahwa raja Ong Te tidak ditakdirkan Islam serakyatnya, hanya putri serombongannya. Lalu berkata Jeng Maulana, “Wahai raja Cina, anak anda itu mengandung karena kuasa Allah tanpa dikarenakan lawan jenis”. Mendengar jawaban tersebut, raja murka sekali. Jeng Maulana pun diusir keluar istana. Akhirnya Jeng Maulana menghaturkan pamit dan meneruskan perjalanannya.
Diceritakan, bokor kuningan yang berada di perut putri Ong Tien tiba-tiba lenyap dan perut sang putri nampak seperti mengandung sebenarnya. Raja terbengong-bengong dan heran sekali. Sang Putri menjadi jatuh hati pada Jeng Maulana dan siang malam menangis terus teringat  pada Jeng Maulana. Melihat hal ini, sang raja menyebar wadyabala untuk mencari Jeng Maulana di Negara Tartar, namun Jeng Maulana sudah tidak ada di tempat tersebut. Mengetahui kabar tersebut, sang putri semakin bertambah rindu dan ia berkata pada ayahandanya, “Duhai ayahanda, hidupku serasa tiada guna bila tidak dapat betemu dan menjadi satu dengan pendeta muda itu. Aku ingin menyusul sendiri ke tempatnya di Jawa”. Sang raja kebingungan sekali, bila tidak dituruti kemauan putrinya, ia khawatir sang putri akan semakin bersedih. Kemudian raja memanggil sang patih, “Hai patih, engkau iringilah putriku Ong Tien bertolak ke tempatnya di Jawa, bawalah seorang pembantumu, wadyabala 1.500 orang dan tiga kapal, isilah guci, panjang, kong, jembangan, uang dan bekal sebanyak mungkin untuk perjalanan nanti. Kelak kalau sudah bertemu dengan pendeta muda itu dimohon pulang ke Negara Tartar, lima Negara bagian akan aku berikan padanya, sungguh jangan sampai tidak terbawa dan barang-barang di dalam  dua kapal dan orang-orang sekapal itu berikanlah kepada pendeta muda. Kalau putriku betah tinggal di Jawa, supaya diserahkan tetap bermukim di sana untuk mengabdi pada pendeta muda”. Sang patih mengucap sandika dan mengantar putri Ong Tien beserta rombongan menuju Cirebon di pulau Jawa sebagai tempat asal Jeng Maulana.



15.      PATIH KELING BERSAMA BAWAHANNYA MEMELUK ISLAM

Diceritakan, Patih Keling dan rombongannya berjumlah 99 orang sedang mengadakan upacara tradisi merubung jenazah rajanya di atas kapal layar di tengah laut. Tidak lama kemudian datanglah Jeng Maulana Insankamil di hadapan mereka. Bertanyalah Jeng Maulana, “Ada apakah ini jenazah orang dirubung dijaga-jaga? Sebaiknya kamu sekalian masuk agama Islam”. Orang-orang Keling tersinggung karenanya dan marah, mata mereka mendelik, mereka tiga-tiba menyerang Jeng Maulana. Oleh karena kramatnya Jeng Maulana, orang-orang Keling satu persatu roboh tidak bergerak. Segera orang-orang Keling mohon ampun dan sembuh seperti sedia kala. Jeng Maulana memberi wejangan syahadat agama Islam, orang-orang Keling lalu waluya lagi/sembuh seperti semula. Ki Patih Keling dan rombongannya lalu mengabdi, dan mereka mengiring Jeng Maulana terus berlayar menuju Cirebon.
Sri Mangana (Pangeran Cakrabuana/ Ki Kuwu Cirebon) telah membangun pesanggrahan/petamanan di gunung Sembung untuk sang keponakan (Syarif Hidayatullah/ Jeng Maulana Insankamil). Beberapa lama kemudian, datanglah sang keponakan sudah di hadapannya dengan diiring oleh Ki Patih Keling dan rombongannya. Sri Mangana bergembira sekali. Beberapa hari kemudian Ki Kuwu berkata, “Wahai putraku Insankamil, sekarang seyogyanya jadi Imam menyiarkan agama Islam, Rama menyerahkan kraton Pakungwati di tanah Cirebon serakyatnya dan Rama menyediakan pesanggrahan di gunung Sembung”. Jeng Maulana menjawab, “Terima kasih atas sih pemberian Pak De, pada waktu sekarang belum dapat menerima Negara, karena belum mempunyai karya, namun gunung Sembung saya terima untuk pemukiman orang-orang Keling”. Ki Kuwu menyetujui. Segera Jeng Maulana dan orang-orang Keling beberes dan bermukim di pesanggrahan gunung Sembung.



15.      CIREBON DISERAHKAN KEPADA JENG MAULANA INSANKAMIL

Syahdan pada suatu hari para murid sedang berkumpul, Pangeran Panjunan, Pangeran Kejaksan, Syekh Datuk Khafid, Syekh Majagung, Syekh Lemahabang, Syekh Bentong, Syekh Maghrib, dan para gegedeng/gegedug sudah menghadap Ki Kuwu Cirebon. Ki Kuwu berkata, “Sekarang Rama memasyhrahkan putri Rama yang bernama Ratna Pakungwati beserta kratonnya berikut seluruh wilayah Cirebon yang Rama babakyasa/ bangun, terimalah semuanya, semoga putra menjabat sebagai Nata/ Raja Cirebon memangku kraton Pakungwati”. Jeng Maulana menerimanya menurut kehendak uwak/ Pakde- nya. Berkata Pangeran Panjunan,” Pula si Raka (kakak) menyerahkan adik Siti Baghdad serombongannya berikut Dukuh Panjunan serakyatnya, hanya semoga rakyat Panjunan diberi tanah untuk penghidupannya (tanah liat untuk membuat keramik) seturunannya, oleh karena Raka hendak pergi bertapa”. Syekh Datuk Khafid dan Pangeran Kejaksan juga menyerahkan para penganutnya. Jeng Maulana pun menerimanya.
Ki Kuwu berkata, “Putra semoga memasuki kraton Pakungwati dan besok hari dinobatkan”. Jeng Maulana menyetujuinya. Esok harinya, dari gunung Jati Jeng Maulana diiringi oleh segenap para murid, para Syekh, para Pangeran dan para gegedeng bertolak ke kraton Pakungwati, datang sudah di dalam kraton. Ki Kuwu bergembira sekali menyelenggarakan hidangan kehormatan, dan malam Jumat Jeng Maulana dinikahkan dengan putri Ki Kuwu yang bernama Ratna Pakungwati. Jeng Maulana Insankamil sebakdanya nikah pada waktu tengah malam pergi ke gunung Jati untuk melaksanakan shalat hajat empat raka’at semoga keridhoan oleh Allah SWT menjadi Nata/ Raja, mohon terus langsung seketurunannya, dan ridhonya bumi sukanya Negara. Sebakdanya shalat lalu datang seekor naga yang lebih besar sekali, membelit melata mohon diterima mengabdi.
Jeng Maulana mengetahui kemauan naga itu lalu berkata, “Hai sang naga, oleh karena engkau hewan yang besar sekali mengabdi padaku, bagaimana nantinya wadyabala manusia niscaya tidak ada yang berani mendekat”. Sang naga menjawab, “Duhai Gusti, bagaimana kehendak Paduka, karena hamba ingin mengabdi mohon diterima”. Jeng Maulana berkata, “Kalau engkau sungguh-sunguh mau mengabdi, jadilah sebuah keris dapur naga ber-luk Sembilan. Sang naga pun berubah menjadi sebuah keris, dan disebut Kaki Naga Gede. Jeng Maulana lalu pulang ke kraton Pakungwati terus shalat subuh dalam masjid Pajlagrahan. Sebakdanya shalat subuh, di hadapan Sri Mangana, para Wali, para gegedeng dan para wadyabala, Jeng Maulana dinobatkan sebagai kapala Negara Cirebon, antara bakda Jumat mengumumkan kepada khalayak ramai, bahwasanya Jeng Maulana Insankamil menjabat sebagai Yang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panata agama Awliya Allah Kutubijaman Kholifatur Rasulullahu alaihi wassalam pada tahun 1479 M. Patih Keling diangkat menjadi patihnya dengan gelar Dipati Suranenggala/ Dipati Keling, Pepatih Dalem Kanjeng Sinuhun Susuhunan Cirebon.
Jeng Maulana selesai dinobatkan menjadi Yang Sinuhun Susuhunan Cirebon kemudian bermukim di kraton Pakungwati Cirebon. Beberapa hari kemudian membangun tembok keliling kraton. Sejak tahun ini pula Cirebon menghentikan upeti tahunannya kepada Pajajaran dan Rajagaluh. Pada tahun ini pula Wali Sanga Jawadwipa menobatkan Raden Patah sebagai Sultan Demak. Raja Brawijaya Majapahit masih mengakui Demak sebagai Negara bagian Majapahit, namun tidak melakukan tindakan apa-apa.



16.      SUNAN JATI BERTOLAK KE LURAGUNG

Suatu hari Ki Kuwu berkata, “Putraku, lekaslah bertolak ke Luragung menyiarkan agama Islam dan melebarkan wilayah di Luragung. Raja dan rakyatnyanya masih belum Islam”. Jeng Sunan Jati mematuhi perintah sang rama, segera menuju Luragung. Sampailah beliau di kraton Luragung dan bertemu dengan raja. Berkata Jeng Sunan Jati, “Wahai paduka raja, sebaiknya sekarang anutlah agama Islam dan hendaknya rakyat paduka juga”. Sang raja Luragung tertarik dengan pengabaran Sunan Jati tentang Islam, menjadi lebih kasih hatinya. Ia pun memeluk agama Islam dan mengajak seluruh pejabat dan rakyatnya memeluk agama Islam.
Diceritakan, sang putri Cina yang bernama Ong Tien dan Patih beserta rombongannya sudah sampai di pantai Cirebon pada tahun 1481 M. Mereka menanyakan perihal keberadaan Jeng Maulana Insankamil. Penduduk Cirebon menjawab bahwasanya Jeng Maulana sedang berada di Luragung. Segera sang putri dan rombongannya bertolak ke Luragung. Barang-barang mereka yang sudah di darat diterima oleh Patih Keling. Sang Putri akhirnya sampai di Luragung.
Jeng Sunan Jati sedang duduk bersama dengan Gedeng Kemuning. Tidak lama kemudian sampailah putri Ong Tien lalu bertemu dengan Jeng Sunan Jati. Betapa gembiranya sang putri. Sang Patih Cina manyampaikan pesan dari rajanya, agar menerima sang putri dan pemberian dari sang raja. Jeng Sunan Jati pun menerimanya.
Sang Putri telah datang waktunya untuk melahirkan, tidak lama kemudian lalu melahirkan bokor kuningan. Jeng Sunan Jati berkata, “Tidak ada adatnya orang melahirkan bokor, kalau seorang manusia melahirkan tentu keluar bayi manusia”. Saksana/ sekonyong-konyong bokor lenyap, jadi bayi elok warnanya semua merjurit. Sang bayi diberi nama Pangeran Kuningan. Jeng Sunan Jati berkata, “Hai Gedeng Kemuning, aku titipkan anak ini pada anda, peliharalah dengan baik, semua wilayahku yang sudah ada sekarang serahkanlah pada Pangeran Kuningan, yang jadi wakilnya adalah anda, Gedeng Kemuning”. Ki Gedeng Kemuning mengucap sandika. Ia membawa Pangeran Kuningan pulang ke rumahnya. Kebetulan ia mempunyai anak pula yang masih menyusui, karenanya Pangeran Kuningan disusukan bersama anaknya itu dan Pangeran Kuningan dipelihara sebaik-baiknya sesuai amanat Jeng Sunan Jati. Adapun dukuh Ki Gedeng Kemuning sejak itu disebut Kuningan.
Diceritakan, Jeng Sunan Jati sudah pulang di pesanggrahan gunung Sembung. Putri Ong Tien dan rombongannya sudah masuk Islam semua. Jeng Sunan Jati pun menikah dengan putri Ong Tien, yang kemudian berganti nama menjadi Nyi Mas Rarasumanding. Sekian lama kemudian, sang putri wafat. Jeng Sunan Jati lalu bertafakur di gunung Jati.
Suatu hari Nyi Mas Rarakerta yang merupakan putri dari Ki Gedeng Jatimerta sedang berjalan di perkebunan, Jeng Sunan Jati melihatnya. Kelak di kemudian hari menjadikan tumbuh bungnya bambu di tempat itu. Jeng Sunan Jati segera bertolak ke pedesaan, dan pada waktu Ashar mampir di rumah Ki Gedeng Babadan hendak mandi dan berwudlu. Bajunya disangkutkan pada dahan bunga cempaka yang sudah mati meranggas daunnya.
Jeng Sunan Jati sebakdanya mengambil air wudlu lalu bajunya dikenakan kembali, lalu pohon bunga cempaka hidup kembali seperti sediakala, segar dan gemuk. Tidak lama kemudian Nyi Retna Babadan keluar dari rumahnya melihat pepohonan bunganya sudah waluya/ segar kembali seperti semula, karenanya ia bergembira sekali, sambil berkata, “Siapakah orangnya yang telah dapat menghidupsegarkan kembali pepohonan bungaku ini, apabila lelaki aku terima sebagai suami, dan apabila perempuan aku terima sebagai saudara”. Tidak lama kemudian Jeng Sunan Jati keluar setelah shalat Ashar lalu berkata, “Itu pepohonan bunga anda telah hidup segar kembali atas kehendak Allah lantaran oleh bajuku.” Nyi Mas Retna Babadan menepati janjinya, segera ia mengutarakan peristiwa tersebut pada ayahandanya. Ki Gedeng Babadan menikahkan anaknya dengan Jeng Sunan Jati. Beberapa hari lamanya, Jeng Sunan Jati beserta Nyi Mas Retna Babadan pulang ke gunung Sembung.



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar