Right click disabled

8 Sep 2012

Babad Cirebon - oleh PS. Sulendraningrat (bagian 3)




10.      DIBANGUNNYA KRATON PAKUNGWATI

Diceritakan, Ki Kuwu Cirebon H. Abdullah Iman (Cakrabuana) dan istrinya yaitu Dewi Indangayu mempunyai anak perempuan yang diberi nama Ratu Mas Pakungwati. Kemudian Ki Kuwu membangun kraton yang disebut Kraton Pakungwati pada tahun 1452 M. Pula di sebelah timurnya dibangun sebuah tajug jami’ di pinggir pantai yang disebut Tajug Pajlagrahan (sekarang tempatnya disebut kampung Grubugan/ Sitimulya). Kemudian lahir anaknya yang kedua, yaitu seorang putera yang diberi nama Pangeran Carbon pada tahun 1454 M. Kraton Pakungwati diperlebar dan diperbesar pada tahun 1479 M. Setelah membangun kraton, Ki Kuwu Cakrabuana bergelar Sri Mangana (Cirebon sejak tahun 1454 M menjadi sebuah Negara/ Nagari beragama Islam, namun tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Kepala negaranya adalah Pangeran Cakrabuana yang berdiam di kraton Pakungwati, diakui oleh Prabu Siliwangi Pajajaran sebagai Sri Mangana/ Prabu Anom).



11.      PANGERAN PANJUNAN DAN PANGERAN KEJAKSAN

Diceritakan di Baghdad (ibukota Irak), Sultan Maulana Sulaiman sudah lama bersedih hati karena sang putra, Syarif Abdurrahman bertingkah laku bertentangan dengan syariat Islam, tidak mengindahkan halal dan haram. Adapun saudara-saudaranya yaitu Syarif Abdurrahim, Syarif Kafi mengikuti tingkah laku dirinya sebagai kakak tertua. Pada suatu hari Sultan Sulaiman sewaka (jumpa pejabat-pajabat pemerintahan). Semua para pejabat pemerintahan kumpul pula sang putra lelaki bertiga sudah berada di hadapannya. Adapun Syarif Abdurrahman berlaku tinggal adat bukan adat yang lumrah. Sultan berkata, “Hai Abdurrahman puteraku, buanglah adat yang buruk, jangan suka bertentangan dengan syariat Islam”. Syarif Abdurrahman sang putra tidak mematuhi perintah sang ayahanda. Oleh karenanya, Sultan Sulaiman murka, sang putra dimarahi dan akhirnya diusir keluar istana Baghdad. Syarif Abdurrahman menerima keputusan ayahnya dan bergegas hendak meninggalkan istana. Seorang pejabat istana dan sekaligus gurunya yang bernama Syeh Junaid berkata kepada Syarif Abdurrahman, “Engkau jangan berkelana ke lain Negara, menujulah pulau Jawa, bermukimlah di Cirebon, bergurulah kepada Syekh Nurjati yang berada di gunung Jati dan engkau jangan syak dan ragu kepada apa yang aku wejangkan sebagai guru engkau, sempurnalah ilmu engkau, yang tetap dhohir batin”. Sang putra mengucap terimakasih, mematuhi perintah gurunya. Segera mohon pamit meneruskan perjalanan bersama kedua adiknya, dengan diantar oleh pasukan pengawal, datang sudah di pinggir pantai tanah Jawa, kemudian sampailah mereka di Cirebon.
Syarif Abdurrahman menuju ke gunung Jati untuk menemui Syekh Nurjati. Setelah bertemu, Syekh Nurjati berkata, “Wahai para putra, kalian siapa dan apa kehendaknya dating di hadapanku?” Menjawab sang putra Syarif Abdurrahman, “Hamba sekalian adalah dari Baghdad hendak berguru pada Maulana Syekh Nurjati dan hamba sekalian mohon diijinkan untuk bermukim di tanah Cirebon ini”. Kemudian Syekh Nurjati pun menerima mereka sebagai murid dan mengajarkan ajaran Islam.  Setelah beberapa lama berguru pada Syekh Nurjati, mereka pun mohon ijin menghadap Ki Kuwu Cirebon. Akhirnya mereka bertemu dengan Ki Kuwu Cirebon, dan Ki Kuwu menyambut mereka dengan perasaan senang dan sayang, dan memberikan mereka tempat tinggal di sebelah Utara. Syarif Abdurrahman membangun dukuh/ pemukiman hingga tumbuh pesat. Adapun Syarif Kafi yang berdiam di gunung Jati siang malam member wejangan kitab Qur’an pada masyarakat, disebut Syekh Kafid. Adapun Syarif Abdurrahman yang menjadi ayunaning (pimpinan) masyarakat dan mempunyai keahlian membuat barang-barang keramik dari tanah liat disebut Pangeran Panjunan, juga pemukimannya disebut dukuh Panjunan pada tahun 1464 M.
Sedangkan adiknya yaitu Syarif Abdurrahim menjabat sebagai jaksa untuk mengurus agama dan drigama (urusan pemerintahan/ dunia), disebut Pangeran Kejaksan, juga dukuhnya disebut dukuh Kejaksan. Pengawal-pengawal mereka yang berasal dari Baghdad pun ikut bermukim di Cirebon dan membaur bersama masyarakat pribumi.



12.      SYARIF HIDAYATULLAH (INSANKAMIL) BERTOLAK MENUJU CIREBON

Syarif Hidayatullah dinobatkan menjadi sultan, menggantikan ayahandanya yaitu Sultan Maulana Mahmud Syarif Abdullah pada tahun 1468 M. Beliau juga mendapat sebutan/gelar Insankamil. Diceritakan, Ratu Syarifah Mudaim pada suatu hari berkata pada putranya, “Putraku, karena engkau sudah menjabat sebagai sultan, ibu sekarang menggugat janji ayahandamu kelak mempunyai anak lelaki yang bertindak mengislamkan orang sepulau Jawa dan para kerabat di Pajajaran, sekarang sudah sedang waktunya, datanglah di pulau Jawa, menghadaplah kepada Pakde Kuwu Cirebon, serahlah ananda kepada orang tua apa yang  seharusnya dituruti”. Kanjeng Sultan mematuhi perintah ibundanya, kemudian memanggil sang adik/ Syarif Nurullah dan berkata, “Adikku, jadilah polmak/ pejabat mewakili kedudukanku, kakak hendak mematuhi perintah orang tua bertolak ke pulau Jawa Cirebon yang dituju, sekarang serah Negara harap diurus dengan baik”. Syarif Nurullah menyanggupinya.
Segera Kanjeng Maulana Insankamil mohon pamit, dan ibunda pun merestuinya. Akhirnya, sampailah Kanjeng Maulana Insankamil di Cirebon, dan bertemu dengan uwaknya yaitu Ki Kuwu Cakrabuana/ Abdullah Iman. Ki Kuwu bergembira sekali sambil merangkulnya. Segera sang kemenakan dibawa masuk ke dalam kraton Pakungwati, dan semua keluarga kraton menyambut dengan gembira dan haru. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1470 M.
Ki Kuwu bertanya, “Wahai putra, bagaimana keadaan Ibu Dalem (Rarasantang/ Syarifah Mudaim) dan apa yang dikehendaki putra, mungkin mengemban perintah Ibunda?” Menjawab Kanjeng Maulana Insankamil, “Sungguh ananda diutus oleh Ibunda disuruh menghaturkan sembah baktinya dan pula disuruh mengislamkan kerabat di Pajajaran, namun pesannya bahwa Ibunda menyerahkan perkara ini kepada Pakde bagaimana seharusnya, ananda tunduk”.
Berkata Ki Kuwu, “Sekarang belum waktunya, sebaiknya putra berguru dulu kepada Ki Syekh Nurjati yang berpengguron di gunung Jati, nanti bagaimana kehendak Rama Guru”. Kemudian Kanjeng Maulana segera berangkat dengan Ki Kuwu menuju gunung Jati, dan bertemu dengan Syekh Nurjati. Syekh Nurjati berkata, “Selamat datang Maulana Insankamil yang menjadi Kholifatur Rasullullah, bagaimana yang dikehendaki, tidakkah Tuan yang sudah dimuliakan?”
Berkata Kanjeng Maulana, “Menurut suruhan Rasul tidak boleh mengatas-atasi, disuruh berguru apa kebiasaan di dunia, saya mohon berguru kepada Tuan”.
Kemudian Syekh Nurjati memberinya wejangan tarekat sempurnanya ilmu hingga tamat semua. Syekh Nurjati berkata, “Semoga putra mau menghadap kepada Sunan Ampel di Ampeldenta, bibitnya Wali di Jawa, baik mohon berguru kepadanya”. Kanjeng Maulana Insankamil mematuhi perintah guru, segera mohon pamit untuk bertolak ke Ampeldenta.



13.      KANJENG MAULANA INSANKAMIL BERTOLAK KE AMPELDENTA

Pada suatu hari Kanjeng Sinuhun Ampeldenta sedang sinewaka/ dihadap oleh para murid. Sang Putra Sunan Bonang, Sunan Undung dan Sunan Giri, Syekh Maghrib, Syekh Lemahabang, Syekh Bentong, Syekh Majagung, Pangeran Makdum, Pangeran Drajat, Pengeran Welang, dan seluruh murid berkumpul. Kanjeng Sunan Ampel berkata, “Adik Sunan Giri dan para murid semuanya, harap menjadi tahu kalian, nanti sebentar lagi akan ada datangnya Wali Kutub yang menjadi Kholifah Rasulullah, tidak ada Nabi ya adanya Wali, derajatnya Wali yang punjul”.
Tidak lama kemudian datanglah Kanjeng Maulana Insankamil berteja kuwung-kuwung (bercahaya pelangi di atas kepalanya). Para Wali melihatnya dengan terperanjat. Kemudian bersalaman dan memberi hormat.
Berkata Kanjeng Sunan Ampel, “Selamat datang Putra, bagaimana kehendaknya, tidakkah Tuan yang menjabat Wali Kutub?”
Berkata Kanjeng Maulana, “Betul perkataan Dalem, namun saya lebih dhoif, menurut suruhan Rasul, saya disuruh berguru bagaimana lumrah adat dunia, saya mohon berguru kepada Tuan”.
Kemudian Kanjeng Sunan Ampel menerima beliau menjadi murid dan mengajarkan wejangan tarekat hingga tamat. Setelah selesai, atas perintah Kanjeng Sunan Ampel selaku gurunya, Kanjeng Maulana Insankamil ditunjuk menjabat Imam di Cirebon dan direstui untuk menyiarkan agama Islam dan mengislamkan yang belum Islam. Kanjeng Maulana mematuhi perintah Guru, karena sudah mendapat ijin untuk menyiarkan agama Islam, beliau segera mohon pamit meneruskan perjalanannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar