10.
DIBANGUNNYA KRATON PAKUNGWATI
Diceritakan, Ki Kuwu Cirebon H. Abdullah Iman (Cakrabuana)
dan istrinya yaitu Dewi Indangayu mempunyai anak perempuan yang diberi nama Ratu Mas Pakungwati. Kemudian Ki Kuwu
membangun kraton yang disebut Kraton
Pakungwati pada tahun 1452 M.
Pula di sebelah timurnya dibangun sebuah tajug
jami’ di pinggir pantai yang disebut Tajug
Pajlagrahan (sekarang tempatnya disebut kampung Grubugan/ Sitimulya).
Kemudian lahir anaknya yang kedua, yaitu seorang putera yang diberi nama Pangeran Carbon pada tahun 1454 M. Kraton Pakungwati diperlebar
dan diperbesar pada tahun 1479 M.
Setelah membangun kraton, Ki Kuwu Cakrabuana bergelar Sri Mangana (Cirebon sejak tahun 1454 M menjadi sebuah Negara/ Nagari beragama Islam, namun tidak ada
paksaan dalam memeluk agama. Kepala negaranya adalah Pangeran Cakrabuana yang
berdiam di kraton Pakungwati, diakui oleh Prabu Siliwangi Pajajaran sebagai Sri
Mangana/ Prabu Anom).
11. PANGERAN PANJUNAN DAN PANGERAN KEJAKSAN
Diceritakan di Baghdad (ibukota Irak), Sultan Maulana Sulaiman
sudah lama bersedih hati karena sang putra, Syarif Abdurrahman bertingkah laku bertentangan dengan syariat
Islam, tidak mengindahkan halal dan haram. Adapun saudara-saudaranya yaitu Syarif Abdurrahim, Syarif Kafi
mengikuti tingkah laku dirinya sebagai kakak tertua. Pada suatu hari Sultan
Sulaiman sewaka (jumpa
pejabat-pajabat pemerintahan). Semua para pejabat pemerintahan kumpul pula sang
putra lelaki bertiga sudah berada di hadapannya. Adapun Syarif Abdurrahman
berlaku tinggal adat bukan adat yang lumrah. Sultan berkata, “Hai Abdurrahman
puteraku, buanglah adat yang buruk, jangan suka bertentangan dengan syariat
Islam”. Syarif Abdurrahman sang putra tidak mematuhi perintah sang ayahanda.
Oleh karenanya, Sultan Sulaiman murka, sang putra dimarahi dan akhirnya diusir
keluar istana Baghdad. Syarif Abdurrahman menerima keputusan ayahnya dan
bergegas hendak meninggalkan istana. Seorang pejabat istana dan sekaligus
gurunya yang bernama Syeh Junaid berkata kepada Syarif Abdurrahman, “Engkau
jangan berkelana ke lain Negara, menujulah pulau Jawa, bermukimlah di Cirebon,
bergurulah kepada Syekh Nurjati yang berada di gunung Jati dan engkau jangan
syak dan ragu kepada apa yang aku wejangkan sebagai guru engkau, sempurnalah
ilmu engkau, yang tetap dhohir batin”. Sang putra mengucap terimakasih,
mematuhi perintah gurunya. Segera mohon pamit meneruskan perjalanan bersama kedua
adiknya, dengan diantar oleh pasukan pengawal, datang sudah di pinggir pantai
tanah Jawa, kemudian sampailah mereka di Cirebon.
Syarif Abdurrahman menuju ke gunung Jati untuk menemui Syekh
Nurjati. Setelah bertemu, Syekh Nurjati berkata, “Wahai para putra, kalian
siapa dan apa kehendaknya dating di hadapanku?” Menjawab sang putra Syarif
Abdurrahman, “Hamba sekalian adalah dari Baghdad hendak berguru pada Maulana
Syekh Nurjati dan hamba sekalian mohon diijinkan untuk bermukim di tanah
Cirebon ini”. Kemudian Syekh Nurjati pun menerima mereka sebagai murid dan
mengajarkan ajaran Islam. Setelah
beberapa lama berguru pada Syekh Nurjati, mereka pun mohon ijin menghadap Ki
Kuwu Cirebon. Akhirnya mereka bertemu dengan Ki Kuwu Cirebon, dan Ki Kuwu
menyambut mereka dengan perasaan senang dan sayang, dan memberikan mereka
tempat tinggal di sebelah Utara. Syarif Abdurrahman membangun dukuh/ pemukiman
hingga tumbuh pesat. Adapun Syarif Kafi yang berdiam di gunung Jati siang malam
member wejangan kitab Qur’an pada masyarakat, disebut Syekh Kafid. Adapun Syarif Abdurrahman yang menjadi ayunaning (pimpinan) masyarakat dan
mempunyai keahlian membuat barang-barang keramik dari tanah liat disebut Pangeran Panjunan, juga pemukimannya
disebut dukuh Panjunan pada tahun 1464 M.
Sedangkan adiknya yaitu Syarif Abdurrahim menjabat sebagai
jaksa untuk mengurus agama dan drigama
(urusan pemerintahan/ dunia), disebut Pangeran
Kejaksan, juga dukuhnya disebut dukuh Kejaksan. Pengawal-pengawal mereka
yang berasal dari Baghdad pun ikut bermukim di Cirebon dan membaur bersama
masyarakat pribumi.
12.
SYARIF HIDAYATULLAH (INSANKAMIL)
BERTOLAK MENUJU CIREBON
Syarif
Hidayatullah dinobatkan menjadi sultan, menggantikan ayahandanya yaitu Sultan
Maulana Mahmud Syarif Abdullah pada tahun 1468
M. Beliau juga mendapat sebutan/gelar Insankamil.
Diceritakan, Ratu Syarifah Mudaim pada suatu hari berkata pada putranya,
“Putraku, karena engkau sudah menjabat sebagai sultan, ibu sekarang menggugat
janji ayahandamu kelak mempunyai anak lelaki yang bertindak mengislamkan orang
sepulau Jawa dan para kerabat di Pajajaran, sekarang sudah sedang waktunya,
datanglah di pulau Jawa, menghadaplah kepada Pakde Kuwu Cirebon, serahlah
ananda kepada orang tua apa yang
seharusnya dituruti”. Kanjeng Sultan mematuhi perintah ibundanya,
kemudian memanggil sang adik/ Syarif Nurullah dan berkata, “Adikku, jadilah polmak/ pejabat mewakili kedudukanku,
kakak hendak mematuhi perintah orang tua bertolak ke pulau Jawa Cirebon yang
dituju, sekarang serah Negara harap diurus dengan baik”. Syarif Nurullah
menyanggupinya.
Segera
Kanjeng Maulana Insankamil mohon pamit, dan ibunda pun merestuinya. Akhirnya,
sampailah Kanjeng Maulana Insankamil di Cirebon, dan bertemu dengan uwaknya
yaitu Ki Kuwu Cakrabuana/ Abdullah Iman. Ki Kuwu bergembira sekali sambil
merangkulnya. Segera sang kemenakan dibawa masuk ke dalam kraton Pakungwati,
dan semua keluarga kraton menyambut dengan gembira dan haru. Peristiwa ini
terjadi pada tahun 1470 M.
Ki Kuwu
bertanya, “Wahai putra, bagaimana keadaan Ibu Dalem (Rarasantang/ Syarifah
Mudaim) dan apa yang dikehendaki putra, mungkin mengemban perintah Ibunda?”
Menjawab Kanjeng Maulana Insankamil, “Sungguh ananda diutus oleh Ibunda disuruh
menghaturkan sembah baktinya dan pula disuruh mengislamkan kerabat di
Pajajaran, namun pesannya bahwa Ibunda menyerahkan perkara ini kepada Pakde
bagaimana seharusnya, ananda tunduk”.
Berkata Ki
Kuwu, “Sekarang belum waktunya, sebaiknya putra berguru dulu kepada Ki Syekh
Nurjati yang berpengguron di gunung
Jati, nanti bagaimana kehendak Rama Guru”. Kemudian Kanjeng Maulana segera
berangkat dengan Ki Kuwu menuju gunung Jati, dan bertemu dengan Syekh Nurjati.
Syekh Nurjati berkata, “Selamat datang Maulana Insankamil yang menjadi
Kholifatur Rasullullah, bagaimana yang dikehendaki, tidakkah Tuan yang sudah
dimuliakan?”
Berkata
Kanjeng Maulana, “Menurut suruhan Rasul tidak boleh mengatas-atasi, disuruh
berguru apa kebiasaan di dunia, saya mohon berguru kepada Tuan”.
Kemudian
Syekh Nurjati memberinya wejangan tarekat sempurnanya ilmu hingga tamat semua.
Syekh Nurjati berkata, “Semoga putra mau menghadap kepada Sunan Ampel di Ampeldenta, bibitnya Wali di Jawa, baik mohon
berguru kepadanya”. Kanjeng Maulana Insankamil mematuhi perintah guru, segera
mohon pamit untuk bertolak ke Ampeldenta.
13.
KANJENG MAULANA INSANKAMIL BERTOLAK
KE AMPELDENTA
Pada suatu
hari Kanjeng Sinuhun Ampeldenta sedang sinewaka/
dihadap oleh para murid. Sang Putra Sunan Bonang, Sunan Undung dan Sunan Giri,
Syekh Maghrib, Syekh Lemahabang, Syekh Bentong, Syekh Majagung, Pangeran
Makdum, Pangeran Drajat, Pengeran Welang, dan seluruh murid berkumpul. Kanjeng
Sunan Ampel berkata, “Adik Sunan Giri dan para murid semuanya, harap menjadi
tahu kalian, nanti sebentar lagi akan ada datangnya Wali Kutub yang menjadi
Kholifah Rasulullah, tidak ada Nabi ya adanya Wali, derajatnya Wali yang punjul”.
Tidak lama
kemudian datanglah Kanjeng Maulana Insankamil berteja kuwung-kuwung (bercahaya pelangi di atas kepalanya). Para
Wali melihatnya dengan terperanjat. Kemudian bersalaman dan memberi hormat.
Berkata
Kanjeng Sunan Ampel, “Selamat datang Putra, bagaimana kehendaknya, tidakkah
Tuan yang menjabat Wali Kutub?”
Berkata
Kanjeng Maulana, “Betul perkataan Dalem, namun saya lebih dhoif, menurut
suruhan Rasul, saya disuruh berguru bagaimana lumrah adat dunia, saya mohon
berguru kepada Tuan”.
Kemudian
Kanjeng Sunan Ampel menerima beliau menjadi murid dan mengajarkan wejangan
tarekat hingga tamat. Setelah selesai, atas perintah Kanjeng Sunan Ampel selaku
gurunya, Kanjeng Maulana Insankamil ditunjuk menjabat Imam di Cirebon dan
direstui untuk menyiarkan agama Islam dan mengislamkan yang belum Islam.
Kanjeng Maulana mematuhi perintah Guru, karena sudah mendapat ijin untuk
menyiarkan agama Islam, beliau segera mohon pamit meneruskan perjalanannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar